Rara masih duduk di bangkunya dia melihat kearah papan tulis. Rasanya memang bosan jika tidak ada teman yang menemani. Biasanya Aldera dan Thea akan datang. Tapi, mereka masih sekolah.
"Rara sudah paham?" tanya guru privat nya. Rara mengangguk mengerti. Dia lalu menutup buku pelajaran. Mata menoleh kearah jam dinding. Pasti anak seusianya masih berhamburan pulang kerumah mereka masing-masing.
Sedangkan Rara hanya akan bersiap untuk meminum obat. Guru privat itu keluar lebih dulu lalu di susul Rara. Dia turun dari tangga dengan perlahan. Melihat semua pembantu itu sudah menyiapkan makan siang beserta obat yang harus dia makan setiap hari.
Gadis itu menarik kursi. Lalu menunjuk apa saja yang dia ingin makan. "Kalian bisa ikut makan disini" tawar Rara sembari mengigit paha ayam. Dia juga bingung dengan orang tuanya. Kenapa harus dengan meja makan yang lebar dan panjang, dimana kursi begitu banyak tertata rapi di sepanjang meja itu. Padahal mereka sudah jarang melakukan makan bersama.
"Kita sudah ada di dapur, non" ucap salah satu dari 10 pembantu disitu.
"Makan ini! Duduk, Rara bosen makan sendirian terus diliatin sama kalian" pinta Rara kesal sendiri karna perintahnya selalu di bantah.
"Ayo duduk" paksa Rara mematap satu persatu. Semua hanya saling pandang. Tidak sopan rasanya jika duduk di kursi makan yang mahal ini.
"Ya udah Rara enggak mau minum obat, biar kalian dimarahin" ancam Rara tidak main-main. Rara sekali mengancam dia akan melakukannya sesuai ancamannya itu.
"Baik, Non" ucap mereka lalu menarik kursi dan duduk.
"Makan" pinta Rara gemas. Mereka lalu kompak mengambil nasi, lauk, dan ikut makan bersama Rara. Rara tersenyum bahagia. Dia merasa keluarga yang selalu menemaninya ya asisten rumah tangga ini.
Setelah Rara selesai makan dia berjalan keluar. Melihat banyaknya orang beralulalang. "Aduh Non jangan keluar banyak polusi, panas, nanti sakit" peringati satpam yang sudah bekerja cukup lama.
Rara mengerutkan keningnya. "Lah memang udah sakit" balas Rara lalu tertawa lirih. Satpam itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Rara mau keluar, boleh?" ucap Rara lalu berjalan mendekat gerbang. Dia membuka gerbang besar itu sendiri tapi di tahan oleh kedua satpam rumahnya. Pantang baginya melepaskan Rara seorang diri.
"Ini sudah jam dua belas lebih, sebentar lagi den Leo pulang" ucap Satpam berkumis tebal. Dia tidak mau terkena omelan dari Leo lagi.
"Ya elah bentar doang, please ...." mohon Rara begitu penuh harap. Kedua satpam itu masih kompak menggelengkan kepala. Gadis berkulit bersih hanya tersenyum masam lalu putar balik. Dia menghentakkan kakinya kesal.
Gadis itu hanya bisa masuk kamar, duduk menghadap jendela dan memainkan ponselnya. Dia sudah berusaha menghilangkan rasa bosannya. Mata sayup itu hanya bisa melihat anak-anak seusianya pulang sekolah dengan bercanda gurau.
"Coba punya temen" gumamnya begitu melas.
Namun, mata sayup itu kembali membuka lebar setelah melihat mobil kakak tertuanya pulang. Dia bergegas turun tangga. Sampai di ujung tangga nafasnya tersengal-sengal. Tapi, keningnya mengerut. Dia tidak melihat dua bocil yang selalu bermain bersamanya.
"Al? Thea?" tanya Rara lalu melihat kearah mobil memastikan kedua keponakannya itu tertinggal di dalam mobil.
"Rara udah minum obat?" tanya Valen sembari mengelus rambut Rara. Rara hanya mengangguk. "Al sama Thea ga ikut" ucap Valen tersenyum kearah Rara.
Gadis itu menarik nafas dalam. "Kenapa?" tanyanya. "Bukanya habis jemput Al sama Thea, kok bisa engga ikut?"
"Di jemput mamanya, mereka mau pergi ke rumah kak Isa" perjelas Valen menatap bola mata gadis itu yang berubah sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
Teen FictionGadis kecil yang dikelilingi kasih sayang dan harta. Tapi kehidupannya begitu kurang, tidak ada kebebasan menghirup udara segar, karna penyakitnya yang harus membuat dirinya terkurung dalam rumah. Namun saat dia besar. Dia juga butuh mengenal dunia...