Ruang kelas yang tidak terlalu ramai. Terdengar satu suara seorang pembimbing menjelaskan garapan yang dia presentasikan. Dengan sinar Proyektor yang menjadi satu dengan sinar senja. Sedikit arahan untuk mereka semua yang ikut bakti sosial di sekolah. Ya, termasuk Rara. Dia duduk di pojok depan memperhatikan dengan saksama. Tidak ada ekstrakurikuler yang dia ikuti. Dia hanya ikut seperti bakti sosial saja.
"Salam dari Kak Tarto, sekian terimakasih" ucap pembimbing tersebut mengakhiri pertemuan kali ini.
Rara bergegas menyusul kak Tarto. Dia berlari pelan mengikuti langkah Pria tersebut. "Kak, maaf, tolong lihat ini" ucap Rara lalu memberikan beberapa lembaran kertas yang sudah dia rapihkan dengan klip.
"Apa ini?" tanya kak Tarto heran. Dia lalu membuka lembaran kertas tersebut.
"Itu proposal Panti Sosial kakak Rara, Rara berniat mau daftarin ke kunjungan Donasi selanjutnya, kak, apa bisa?" tanya Rara sembari jalan di iringi kak Tarto di sampingnya sembari membaca-baca sekilas proposal yang diserahkan.
"Boleh-boleh, biar kak Tarto bawa dulu, ya" ucap kak Tarto. Dia senang menerima proposal tersebut. "Pertemuan minggu besok kak Tarto kabarin, ya" imbuh kak Tarto lalu memasukkan proposal tersebut kedalam tas laptopnya.
"Iya"
"Duluan, ya, Ra" ucap kak Tarto meninggalkan Rara yang sangat girang.
Dia merasa sangat senang bisa membantu abangnya. Dia tau abangnya pasti kewalahan harus terus mencari donatur untuk panti sosialnya itu. Apalagi terkadang di ambil dari gajinya, padahal dia sudah punya tiga anak yang masih kecil-kecil, pasti butuh biaya sangat banyak.
Gadis itu berjalan menelusuri lorong menuju gerbang sekolah. Dia melihat jam ditangannya sudah sangat sore dia pulang sekolah. Tidak terasa waktu begitu cepat dan ini pertama kalinya Rara tidak ada yang mengawasi. Dia merasa senang karna dia bisa bebas. Tapi, dia juga sedih karna Sela sakit, dia tidak bisa bercanda seperti biasanya.
Rara berhenti di depan gerbang. Dia melupakan sesuatu sebelum pulang. Melihat dompetnya, lalu bergegas pergi. Namun, arah yang di ambil Rara berlawanan dari arah pulang.
"Kak tolong obat demamnya satu" ucap Rara.
Dia pergi ke apotek untuk membeli obat untuk Sela. Dia memberikan sejumlah uang yang diminta. "Makasih, kak" ucap Rara lalu siap untuk pulang.
Rara berjalan sembari melihat disekelilingnya. Dia memandangi suasana sore menjelang gelap. Dia sengaja memperlambat jalannya. Melihat lampu-lampu mulai nyala, banyak makanan di pinggir jalan yang sudah siap dengan dagangannya. Seramai itu dan seindah itu. Apalagi angin dingin yang jarang dia rasakan. Entah rasa apa yang menusuk membuat rindu akan sesuatu.
"Ra?" tanya seseorang di belakang Rara. Dia juga mendengar suara motor berhenti di samping.
"Iya?" ucap Rara lalu menoleh. Memandangi motor vespa dengan warna biru dan seorang pria mengenakan seragam sekolah dibalut jaket hitam dan helm bogo.
"Butuh tumpangan?" tanya Altar yang terus mengamati Rara.
"En-engak, makasih" ucap Rara. Dia langsung berlari pelan. Bagaimana bisa Rara menumpang pada Altar. Dia saja takut dengan Altar.
"Ra" ucap Altar lagi.
"Pakk" ucap Rara menghentikan Taksi. Dia melambaikan tangan. Secepatnya masuk agar tidak diikuti Altar lagi.
Sebaliknya Altar yang bingung. Kenapa Rara naik taksi? Padahal rumah Rara jalan kaki saja sudah sampai. Tapi, Altar tidak memikirkannya. Dia lalu mengambil jalan lain setelah mengikuti taksi yang ditumpangi Rara.
Gadis itu mengatur nafasnya. Dia menghitung detak jantung perlahan, agar bunyi dari jamnya berhenti. "Pak, berhenti di depan cake itu, ya" ucap Rara.
Dia lalu turun perlahan dan membayar taksinya. Masuk ke dalam toko cake langganannya. Dia sering beli disini dulu. Sewaktu dia bebas memakan apapun itu. Tanpa dibatasi. Rara mengamati cake-cake dengan buah segar di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
Teen FictionGadis kecil yang dikelilingi kasih sayang dan harta. Tapi kehidupannya begitu kurang, tidak ada kebebasan menghirup udara segar, karna penyakitnya yang harus membuat dirinya terkurung dalam rumah. Namun saat dia besar. Dia juga butuh mengenal dunia...