#4

367 35 0
                                    


Wedang jahe hangat sudah berhasil membuat darah yang hampir beku kembali cair. Rasa khas rimpang jahe berpadu dengan gula aren ini, membuatku bisa melupakan sejenak kejadian menyeramkan tadi. 

Selain wedang jahe. Warung tenda yang kami singgahi juga menyediakan minuman hangat lain seperti kopi. Ada mie rebus juga roti. Lumayan bisa mengganjal perut sebelum melanjutkan perjalanan lagi.

Bangku-bangku di warung menghadap dinding. Kami bertiga duduk bersisian. Cuaca semakin dingin dan berkabut. Langit dihiasi gumpalan awan hitam.

"Mau muncak juga, Neng?" sapa bapak tua pemilik warung. Satu cangkir kopi tersisa ampas bekas pengunjung lain, diangkat ke atas baki.

"Eng ... engak," sahutku pelan.

Mataku melirik pada beberapa pengunjung warung yang duduk membelakangi kami.

Tak elok menanyakan alamat seorang dukun di tempat umum seperti ini.

Rani sendiri sekarang dalam penyamaran. Khawatir ada yang mengenalinya sebagai Rania Sheba artis papan atas. Dia mengenakan pakaian tertutup rapat. Tudung jaket yang lebar  menyembunyikan wajah cantiknya.

Tidak mungkin kalau Rani yang bertanya. Bayu? Bakal bocor semua rahasia negara, kalau dia yang ngomong.

"Pak ...," Aku berdiri mendekati bapak itu. "Kita mau cari alamat seseorang," ujarku berbisik-bisik.

"Siapa, Neng?" Alisnya bertaut.

"Abah Atok," bisikku lagi.

Bapak itu tersenyum mendengar nama yang kusebut.

"Oh ... Abah Atok yang orang pinter itu?"

Aku mengangguk cepat.

"Tahu saya, Neng. Deket kok dari sini," jawabnya ramah.

"Bisa minta alamatnya?"

"Kalau dari depan, belok kiri. Jalan setapak pertama yang ada pohon nangka besar. Masuk aja, Neng.  Cuman ada satu rumah di situ," terang bapak pemilik warung.

Berarti Rani tidak salah. Lalu kenapa tadi malah ....

"Tapi, Pak. Barusan kami ke situ. Tidak ada apa-apa," sanggahku.

Bapak itu terkekeh. "Orang pintar seperti Abah Atok memang susah ditemui sama orang baru, Neng. Coba aja lagi!"

"Maksud bapak?"

Sudut matanya melirik ke kanan kiri sebelum bicara. Jarak pengunjung warung lain cukup jauh dari kami berdiri.

"Datangi sekali lagi ke sana. Kemungkinan tempat tinggalnya dikasih pagar gaib. Jadi Neng sama teman-teman gak bisa liat," sahutnya berbisik.

Aku menggeleng tak mengerti. Benar-benar diluar nalar.

"Ucapkan salam sebelum masuk, Neng! Bilang permisi. Begitu," tambahnya lagi.

Kepalaku terasa berdenyut. Aku kembali duduk ke meja dengan raut cengo. Kuhabiskan sisa wedang hingga tandas.

"Kamu ngomong apa tadi sama bapak itu, Le?" tanya Rani penasaran.

Aku masih tercenung. Memandang kosong pada dinding tenda warung. 

Kalau benar rumah Abah Atok ada di jalan setapak itu. Artinya kami harus kembali ke sana. Bertemu poci itu lagi. Ampun, dah.

"Cin!" Bayu mengibas-ngibas telapak tangan di depan wajahku. "Otak jangan dibiarin kosong, Cin! Entar kesambet."

Kutatap wajah kedua sahabatku bergantian.

TUMBAL PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang