Malam ini Rani harus menjalankan ritual khusus mandi kembang. Sejak matahari terbenam ritual itu akan dimulai.
Kami bertiga tidak diperkenankan untuk keluar dari situ sampai semua ritual selesai dilakukan. Aku dan Bayu disediakan ruangan untuk menunggu. Kemungkinan aku tidak akan bisa tidur malam ini.
"Mau sholat jama'ah gak, Cin?" tawar Bayu tersenyum manis. Dia sudah siap dengan sarung kotak dan peci.
"Duluan, gih! Aku bentaran lagi," jawabku sambil menggeser-geser layar handphone.
"Hitung-hitung latihan."
"Latihan apa?"
"Latihan jadi imam di kehidupanmu."
Bola mataku seketika berputar.
"Dih, ogah!" ujarku menjulurkan lidah. Bayu tergelak.
Ada-ada saja si Bayu. Jenisnya aja masih dipertanyakan. Sok mau jadi imam.
***
Jam delapan malam. Pintu diketuk dari luar. Seorang wanita tua masuk ke kamar kami. Membawa sebuah nampan berisi makanan dan minuman.
"Silakan," ucapnya dengan suara yang sangat pelan. Hampir tidak terdengar. Nampan itu diletakkan di atas lantai.
"Buat kita, Buk?" tanya Bayu pada wanita itu.
"Iya. Silakan!" ujarnya lagi, lalu segera keluar dari kamar meninggalkan kami.
"Makasih, Buk," ucap Bayu. Dia lalu menoleh padaku. "Makan gratis nih, Cin."
"Gak, ah. Lagi gak nafsu. Aku makan cemilan aja," jawabku. Persediaan makanan kecil yang dibawa Bayu masih ada.
"Wuih, kek makanan restoran ini, Cin. Ada ayam bakar sama sambel." Bayu berusaha membujukku.
Aku mendekat ingin tahu.
"Ih, serem. Ayam kok item gitu, Bay?"
"Dasar bocah! Ini namanya ayam cemani. Warnanya emang begono. Dulu di kampung nenekku sering makan ayam ini. Makanan organik lho ini, Cin. Bikin sehat. Cobain dulu, baru bilang gak enak."
"Ada bunganya." Aku menunjuk sebuah mangkuk kecil berisi kelopak bunga. "Dibikin lalapan tuh bunga?"
"I-iya kali ...." Bayu menggaruk jidat jenongnya. "Mungkin menu di rumah dukun-dukun emang gini, Cin," ujarnya lagi seraya terkikik geli.
Makanan di dalam nampan itu memang cukup lengkap. Ada ayam bakar, nasi, sambel, sayur rebusan, kue ketan beserta dua gelas kopi hitam. Cuma yang menurutku aneh adalah warna ayam dan semangkuk bunga di situ. Aroma bunga itu membuat nafsu makanku menguap.
"Beneran gak mau? Entar kuhabisin nyesel, lho."
"Iya. Kalau kuat abisin aja," sahutku cuek.
"Empuk banget daging ayamnya, Cin. Nasinya anget-anget. Rugi dah kalo gak coba."
Aku tidak menghiraukan lagi ucapan Bayu. Kuraih bungkusan keripik singkong. Lalu mulai mengunyahnya. Anak kos macam aku sudah terbiasa mengisi perut dengan makanan seadanya. Keripik dan biskuit pun bisa membuatku kenyang.
Bayu sendiri tampak lahap menikmati jamuan dari Abah Atok.
Kamar yang kami tempati saat ini berukuran cukup besar. Hanya diterangi bolam lampu kecil dengan cahaya yang redup. Langit-langitnya tinggi tanpa plapon. Dinding hanya berupa bata merah tanpa dilapisi cat. Tersedia sebuah dipan kayu dan kasur kapuk untuk istirahat. Aku akan tidur bergantian dengan Bayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUMBAL PENGGANTI
HorrorObsesi seorang sahabat menyeretku masuk dalam pusaran masalah yang membuat bulu kuduk merinding