#2

439 41 2
                                    

Malam itu aku dan Rani mendatangi Bayu di kedai kopi. Menurutku Bayupun harus tahu ini semua. Terus terang aku tidak punya jalan keluar untuk Rani. Aku benar-benar buta masalah beginian. Siapa tahu Bayu punya solusi. Kadang otaknya lebih brilian dari kami.

"Ceritanya bijimana, sih? Aku kok, masih ngeh, ya?" Dahi Bayu mengkerut mirip nenek keriput. 

Saat ini kami bertiga ada di ruang pribadi Bayu. Secangkir cokelat hangat masih mengepul di peganganku. Bayu potensial jadi pebisnis handal. Kedai kopinya sekarang tampak berkembang pesat. Kudengar dia mulai membuka cabang di tempat lain. 

Bayu lebih suka menyebut tempat usahanya sebagai kedai bukan cafe. Kedai lebih membumi katanya. Kedai ini diberi nama Kedai Kopi Bayu. Sesuai nama pemiliknya.

"Slurrrph... " Cokelat hangat kuseruput perlahan.

Kedua alis Bayu terangkat. "Jelasin, Le!" Dia menoleh padaku.

"Kan, tadi Rani udah cerita semua, Bay," sahutku.

"Tapi, Rani ceritanya sambil nangis-nangis, bikin nggak fokus," ujarnya sembari melirik orang di samping.

Bayu suka misuh-misuh gara-gara aku suka memanggilnya dengan sebutan emak. Menurutku dia memang paling dewasa di antara kami, paling bawel juga.  Entar cewek pada ill feel sama aku Le, protesnya.

"Jadi, Rani selama ini pakai jasa dukun biar cepet tenar. Tapi tu dukun minta imbalan tumbal nyawa. Bukan nyawa orang tapi diri sendiri?" ucap Bayu. Entah itu pertanyaan atau sebuah kalimat penegasan.

"Hum." Aku mengacungkan jempol.

"Kesambet apa, sih kamu, Ran? Itu sesat tau!" ujarnya, geleng-geleng kepala.

"Iya, aku nyesel," cicit Rani segugukan.

"Terus kita bisa bantu apa?" Bayu menatapnya lekat.

Rani menggeleng. "Aku juga gak tau, Bay. Waktuku tinggal sepuluh hari lagi."

"Apanya yang sepuluh hari?" Tubuh Bayu condong ke arah Rani.

"Perjanjian tumbal itu tinggal sepuluh hari lagi, Bay. Aku akan mati Bay!" Lagi-lagi Rani terisak.

"Buset!Cuman demi tenar seumur jagung, kamu mempertaruhkan nyawa?!" bentak Bayu.

"Gak ada gunanya kita marah ke dia. Baiknya sekarang cari cara biar Rani bisa lepas dari jeratan tumbal itu," selalu.

"Di mana dukun itu tinggal?Siapa tahu perjanjian kamu bisa dibatalin." Bayu memegang lengan Rani.

"Di Kaki Gunung Salak." Suara Rani lebih mirip bisikan.

"Hah?!" Aku dan Bayu sama-sama terperanjat mendengar nama tempat itu.

Gunung Salak tempat yang penuh mitos angker.

***

Demi Rani, aku rela bolos kuliah. Demi Rani, Bayu rela meninggalkan kedai kopinya. Kami akan mendatangi dukun, tempat dimana Rani mendapat susuk.

Rani sudah menceritakan semuanya kepada aku dan Bayu. Dukun sakti bernama Abah Atok telah memasang susuk agar auranya bersinar. Dengan susuk itupun Rani bisa dengan mudah memikat pria manapun yang dia inginkan.

Harga susuk itu sangat mahal karena tidak cukup dibayar hanya dengan uang. Tapi, harus dengan nyawa manusia. Awalnya Rani begitu menikmati ketenarannya. Namun, saat menyaksikan apa yang terjadi pada Silvia Hany, dia ketakutan.

Aku dan Bayu terpaksa masuk dalam pusaran masalah yang diciptakan Rani. Masalah yang membuat buluk kuduk merinding. Hari ini kami bertiga berangkat. Tempat yang akan kami tuju berada di sekitar kaki Gunung Salak. Dekat dengan pintu masuk pendakian. Butuh waktu empat jam untuk kesana.

Langit tampak redup begitu mobil yang membawa kami mulai memasuki kawasan kaki Gunung Salak. Hawa udara terasa dingin. Dari kejauhan terlihat Gunung Salak yang berdiri gagah diselimuti kabut.

Bayu fokus mengemudikan mobil. Aku sendiri terkantuk-kantuk duduk di sampingnya. Ada perubahan pada Bayu yang baru kusadari. Mataku menyipit memandanginya dari samping. Bayu membiarkan bulu halus di rahangnya tumbuh. Niat betul sepertinya merubah penampilan biar lebih laki.

"Musti ke mana lagi ini?" tanyanya tiba-tiba.

Suara Bayu begitu lembut mendayu. Mataku yang tadi menyipit seketika berotasi. Tampang preman, tapi hati Cinderella, batinku.

Aku menoleh pada Rani yang duduk di bangku belakang. Gadis itu menatap nyalang jalanan di depan. Seperti sedang berusaha mengingat-ingat.

"Terus aja, Bay, ikuti jalan lurus yang ini, nanti setelah belokan tajam ada jalan setapak sebelah kiri. Masuk lewat situ."

"Siap!" sahut Bayu.

Suasana jalanan tampak sepi. Hanya ada beberapa mobil yang melintas. Udara terlihat mulai bekabut. Kutarik resluiting jaket hingga batas leher. Berusaha menghalau dingin yang semakin menusuk.

Mobil telah melewati belokan tajam. Rani menunjuk sebuah jalan setapak. Dia ingat ada pohon nangka besar di depan jalan itu. Menurut Rani rumah Abah Atok ada di ujung jalan setapak. Mobil masih bisa melaluinya, walau kadang tersendat karena kondisi jalan yang berbatu dan sebagian tertutup semak. 

"Mana? Tidak ada apa-apa di sini." Kepalaku melongok ke luar.

Beberapa ratus meter memasuki jalan kecil itu mobil berhenti. Kami tidak menemukan apapun di ujung jalan setapak, selain hutan yang gelap. Di sekeliling hanya ada pohon-pohon tinggi menjulang. Bulu kudukku kini merinding. Apa mungkin dukun yang memberi Rani susuk bukan manusia? Hiiih.

"Sebentar...." Rani tampak ragu.

"Kamu lupa kali. Udah tiga tahun yang lalu kan?" Bayu berpaling.

"Seingatku sih emang jalan setapak yang ini," gumam Rani.

"Kucingku kawin di kebon tetangga, besok ari tu kebon jadi jalan setapak."  ledek Bayu.

"Bener, tuh. Jalan setapak gak bisa jadi patokan. Mustinya ada alamat yang lebih jelas lagi, Ran," timpalku.

"Terus gimana, dong?" Rani terlihat mulai cemas.

"Kita balik lagi ke jalan besar. Daripada sradak sruduk gak jelas. Mending nyari info sama penduduk sekitar," usulku.

"Setuju, aku udah merinding dari tadi," bisik Bayu seraya menghidupkan lagi mesin mobil.

Warna langit semakin kelam. Kabut tiba-tiba bertambah tebal. Roda mobil merayap di atas jalan setapak yang becek dan berbatu. Pohon-pohon besar di kanan dan kiri jalan seolah ikut bergerak mengikuti mobil kami.

TUMBAL PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang