Malam itu aku dan Rani mendatangi Bayu di kedai kopi. Menurutku Bayupun harus tahu ini semua. Terus terang aku tak punya jalan keluar untuk Rani. Aku benar-benar buta masalah mistis. Siapa tahu Bayu punya solusi. Kadang otaknya lebih brilian dari kami.
"Ceritanya bijimana, sih, Cin? Aku kok, masih ngeh, ya?" Dahi Bayu mengkerut mirip nenek keriput.
Cinta, itulah panggilan sayang Bayu untuk aku dan Rani. Saat ini kami bertiga ada di ruang pribadi Bayu. Secangkir cokelat hangat masih mengepul di peganganku.
Bayu potensial jadi pebisnis handal. Kedai kopi yang dibukanya tampak berkembang pesat. Kudengar malah mulai membuka gerai di tempat lain.
Bayu lebih suka menyebut tempat usahanya sebagai kedai bukan cafe. Kedai lebih membumi katanya. Kedai ini diberi nama Kedai Kopi Bayu. Sesuai nama pemiliknya.
Slurrrph ... cokelat hangat kuseruput perlahan.
"Lea?" Kedua alis Bayu terangkat.
"Kan, tadi Rani udah cerita semua, Bay," sahutku sambil melirik ke arah Rani.
Rani duduk di samping Bayu dengan kepala menunduk. Kedua kaki dilipat ke atas kursi. Lutut dipeluk.
"Okeh-okeh ... karena Rani ceritanya sambil nangis-nangis. Aku bikin asumsi, ya, Cin." Bayu mengetuk-ngetuk dagu sok bijak.
Dulu aku sempat memanggil Bayu dengan sebutan emak. Oleh sikap ngemongnya pada kami. Tapi, Bayu malah misuh-misuh. Entar cewek pada ill feel katanya. Emang, masih suka sama cewek?
"Jadi ... Rani udah pakai jasa dukun biar cepet tenar. Tapi entu dukun minta imbalan tumbal nyawa manusia. Terus Rani bingung mo ngasih nyawa siapa. Lalu numbalin diri sendiri." Bayu menatapku.
"Hum." Aku mengacungkan ujung telunjuk ke arah Bayu. Rani masih segugukan di tempatnya.
"Kesambet apa, sih kamu, Cin? Kok mau-maunya? Itu sesat tau, Cin!" ujarnya geram, geleng-geleng kepala.
"Iya ... aku nyesel," sahut Rani pelan.
"Terus kita bisa bantu apa?" Bayu menatap Rani lekat.
Rani menggeleng. "Aku juga gak tau, Bay. Waktuku tinggal sepuluh hari lagi."
"Maksud kamu?" Tubuh Bayu condong ke arah Rani.
"Perjanjian tumbal itu tinggal sepuluh hari lagi, Bay. Aku akan mati Bay!" Lagi-lagi Rani tersedu.
BRAK!! Bayu menggebrak meja di depan kami. Aku sampai terlonjak kaget.
"GILA!!" umpatnya keras. "Kamu sudah gak waras, Cin?!"
Belum pernah aku melihat Bayu semarah ini.
"Cuman demi tenar seumur jagung. Kamu mempertaruhkan nyawa?"
"Ssshh ... udah, Bay! Gada gunanya kita marah-marah ke dia. Baiknya sekarang cari cara biar Rani bisa lepas dari jerat tumbal, itu." Aku berusaha meredam Bayu.
"Di mana dukun itu tinggal, Cin?Siapa tahu perjanjian kamu bisa dibatalin." Bayu memegang lengan Rani.
"Di Kaki Gunung Salak." Suara Rani lebih mirip bisikan.
"Hah?!" Aku dan Bayu sama-sama terperanjat mendengar nama tempat itu.
Gunung Salak tempat yang penuh mitos angker.
***
Demi Rani, aku rela bolos kuliah. Demi Rani, Bayu rela meninggalkan kedai kopinya. Kami akan mendatangi kembali dukun, tempat dimana Rani mendapat susuk.
Rani sudah menceritakan semuanya kepada aku dan Bayu. Dukun sakti bernama Abah Atok telah memasang susuk agar auranya bersinar seperti pada Silvia Hany. Dengan susuk itupun Rani bisa dengan mudah memikat pria manapun yang dia inginkan.
Harga susuk itu sangat mahal karena tidak cukup dibayar hanya dengan uang. Tapi, harus dengan nyawa manusia.
Awalnya Rani begitu menikmati ketenarannya. Namun, saat menyaksikan apa yang terjadi pada Silvia Hany, dia ketakutan.
Aku dan Bayu terpaksa masuk dalam pusaran masalah yang diciptakan Rani. Masalah yang membuat buluk kuduk merinding.
Hari ini kami bertiga berangkat. Tempat yang akan kami tuju berada di sekitar kaki Gunung Salak. Dekat dengan pintu masuk pendakian. Butuh waktu empat jam untuk kesana.
***
Langit tampak redup begitu mobil yang membawa kami mulai memasuki kawasan kaki Gunung Salak. Hawa udara terasa dingin. Dari kejauhan terlihat Gunung Salak yang diselimuti kabut.
Bayu fokus mengemudikan mobil. Aku sendiri terkantuk-kantuk duduk di sampingnya. Ada perubahan pada Bayu yang baru kusadari.
Mataku menyipit memandanginya dari samping. Bayu membiarkan bulu halus di rahangnya tumbuh. Apa itu artinya Bayu ....
"Musti ke mana lagi ini, Cin?" tanyanya tiba-tiba.
Suaranya begitu lembut mendayu. Mataku yang tadi menyipit seketika berotasi.
Aku menoleh pada Rani yang duduk di bangku belakang. Gadis itu menatap nyalang jalanan di depan. Seperti sedang berusaha mengingat-ingat.
"Terus aja, Bay! Ikuti aja jalan lurus yang ini, nanti setelah belokan tajam ada jalan setapak sebelah kiri."
"Siap, Cin."
Suasana jalanan tampak sepi. Hanya ada beberapa mobil yang melintas. Udara terlihat mulai bekabut. Kutarik resluiting jaket hingga batas leher. Berusaha menghalau dingin yang semakin menusuk.
Mobil telah melewati belokan tajam. Rani menunjuk sebuah jalan setapak. Dia ingat ada pohon nangka besar di depan jalan itu.
Menurut Rani rumah Abah Atok ada di ujung jalan setapak. Mobil masih bisa melaluinya, walau kadang tersendat karena kondisi jalan yang berbatu dan sebagian tertutup semak.
"Mana? Tidak ada apa-apa di sini." Kepalaku melongok ke luar pintu mobil. Mesin mobil telah dimatikan oleh Bayu.
Kami tidak menemukan apapun di ujung jalan setapak. Selain hutan yang gelap. Di sekeliling hanya ada pohon-pohon tinggi menjulang.
Bulu kudukku tiba-tiba merinding. Apa mungkin dukun yang memberi Rani susuk bukan manusia? Hiiih.
"Sebentar ...." Rani tampak ragu.
"Mungkin bukan yang ini jalan setapaknya, Cin. Sapa tau Rani udah lupa. Udah tiga tahun yang lalu kan, Cin?" Bayu berpaling ke arah Rani.
"Seingatku sih emang jalan setapak yang ini," gumam Rani.
"Elah ... Ciiin. Kucing kawin di kebon tetangga, tu kebon besok arinya jadi jalan setapak." Bayu mengemukakan teorinya.
"Bener juga, tuh. Jalan setapak gak bisa jadi patokan. Mustinya ada alamat yang lebih jelas lagi, Ran."
"Terus gimana, dong?" Rani mulai tampak cemas.
"Gimana kalau kita balik lagi ke jalan besar. Daripada sradak sruduk gajelas. Mending nyari info sama penduduk sekitar," usulku.
"Setuju, Cin. Aku udah merinding dari tadi," bisik Bayu seraya menghidupkan lagi mesin mobil.
Warna langit semakin kelam. Kabut tiba-tiba bertambah tebal. Roda mobil merayap di atas jalan setapak yang becek dan berbatu. Pohon-pohon besar di kanan dan kiri jalan seolah ikut bergerak mengikuti mobil kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUMBAL PENGGANTI
HorrorObsesi seorang sahabat menyeretku masuk dalam pusaran masalah yang membuat bulu kuduk merinding