#6

317 40 2
                                    

"Sialan kamu, Ran! Kubunuh kamu!" Kucekik leher jenjang sahabatku itu.

"Hmmpfth ... hmmmpfth!" Pipinya mengembung. Mata mendelik. Kuku-kuku panjang Rani berusaha mencakariku.

"LEA!!" bentak nyaring suara di belakang punggungku.

"Astagfirulloooh!  Nyebut, Cin!" Ada yang menarik tubuhku dengan kasar. Cengkraman tanganku di leher Rani terlepas.

Aku menoleh ke belakang. Ternyata Bayu. 

"Bayu?" ujarku diantara napas yang tersengal.

Pandanganku lalu beralih pada Rani yang terbatuk memegangi leher.

"Liat! Sekarang kita ada di mana?" Bayu menunjuk sekeliling kami.

Mataku membeliak seketika.  Kenapa kami bisa berada di tempat ini? Otakku belum mampu mencerna apa yang sedang terjadi.

"Kamu gak papa, Ran?" Bayu berpindah mendekati Rani.

Rani menggeleng pelan.

"Dia jahat, Bay! Rani mau menguburku!" ujarku keras sambil menunjuki wajah Rani.

"Ya ampun, Cin? Kamu kesambet apa, sih? Yang mau ngubur kamu tuh siapa? Bangun-bangun kamu sudah nyekik Rani, Cin ...." Bayu bicara padaku dengan suara terisak.

Pelipisku terasa perih. Saat kuusap ada darah segar yang menempel pada telapak tangan. Cakaran Rani sudah melukaiku.

"Nih kita pada di mana lagi? Kayaknya yang tadi malam itu penginapan hantu. Nyai Kiut itu hantu!" tukas Bayu lagi dengan muka meringis.

Mataku menyapu sekeliling lalu memandangi diri sendiri. Tidak ada lagi tanah basah yang melekat. Hanya debu dan serpihan daun kering yang menempel pada jaket dan celana jeansku.

Glekh!

Jadi ... tadi itu hanya mimpi? Tapi ... aku benar-benar merasakannya. Sampai sekarang pun aku masih kesal pada Rani.

Kepalaku menggeleng kebingungan.

"Minta maaf sama Rani!" titah Bayu.

Aku menelan ludah. Merasa bersalah. Kudekati Rani.

"Maaf, Ran! Suer tadi mimpiku seperti nyata. Kamu berusaha menguburku hidup-hidup di dalam tanah. Kamu mau membunuhku, Ran," terangku seraya memegangi tangannya.

Wajah Rani sejenak menegang, kemudian bibir itu tersenyum tulus.

"Iya. Aku gak papa kok. Aku tadi juga sempat nyakar kamu. Habis kamu nyekiknya kenceng banget," ujarnya seraya bangkit duduk.

"Udah deh, Cin. Kalian apa gak merinding kelamaan di sini. Kita ke mobil, yuk!" Bayu menyadarkan.

Gubuk reot tempat kami sekarang dikelilingi oleh hutan. Semua bagian gubuk ini terlihat sudah lapuk dan berlumut. Dinding kayu banyak yang sudah lepas. Bunyinya berderit setiap kami bergerak. Inikah tempat yang tadi malam terlihat seperti penginapan besar?

Sudah menjelang pagi. Udara di luar masih berkabut. Langit tampak temaram. Cuaca dingin berangin.

"Sepertinya kita sudah dikerjain hantu," desisku.

Bertiga tergopoh keluar dari gubuk. Mobil milik Bayu terongok di antara semak belukar tak jauh dari situ. Tadi malam tempat itu terlihat seperti tempat parkir yang luas. Nyai Kiut berhasil merusak visual kami.

"Buruan kita cabut, Cin!" Bayu tak sabar membuka pintu mobil.

"Moga gak mogok lagi," gumam Rani. Dia mengambil tempat duduk di bangku belakang. Aku di samping Bayu.

TUMBAL PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang