Ruangan sudah diterangi oleh cahaya lampu teplok. Wajah orang itu kini sudah terlihat jelas. Seorang wanita setengah baya. Dengan bentuk wajah yang sangat tirusTubuh kurus itu mengenakan kebaya berwarna putih gading serta kain jarik cokelat tua. Rambut tipis dihiasi konde mungil. Penampilan ala tempo dulu. Mungkin penginapan ini sengaja mengusung konsep itu.
Dia kemudian melangkah tanpa suara menuju meja resepsionis. Di meja itu kulihat ada sebuah lonceng mungil dan buku tebal yang telah lusuh. Mirip buku catatan barang di toko kelontong punya ayah.
Lembaran buku kemudian dibuka. Satu tangan wanita itu siap untuk menulis.
"Mau menginap di sini?" tanyanya sambil menatap ke depan. Entah menatap siapa.
"Bijimana neh?" Bayu membisiki aku dan Rani.
"Aku terserah kalian saja," desis Rani.
"Aku juga," jawabku tak berpendirian.
Muka Bayu mengkerut. Dia bingung dengan jawaban kami.
TAAARRR .... TAAARRR!!
Bunyi petir berkali-kali menyambar. Deru angin dan desau air hujan di luar terdengar gemuruh sampai ke dalam ruangan. Seolah ingin memaksa agar kami tidak kemana-mana.
"Jangan buang waktu saya! Silakan keluar! Kalau kalian tidak berminat untuk menginap," sentaknya tajam. Mungkin dia tersinggung dengan sikap kami yang terlihat ragu.
Wanita itu berdiri dari duduknya. Baru kusadari kalau kedua pupil hitam itu mengumpul mendekati hidung. Dia juling. Pantas pandangannya tidak fokus.
"Ma-maaf, Mpok! Kita mau kok nginap di sini. Beneran. Ho-oh," ujar Bayu tergagap.
"Kok, empok sih, Bay?" protesku pada Bayu.
"Nerves, Le," bisik Bayu di telingaku.
"Panggil saya Nyai Kiut!" pintanya. Sepertinya dia tidak suka dengan panggilan Mpok.
"Keriput ngakunya kiut." Bayu membisikiku lagi.
Dasar mulut Bayu ember. Bilangnya nerves. Sempat-sempat ngatain orang. Kupelototi dia, kode agar lebih mengerem mulut.
"Tulis nama kalian di buku ini!" Nyai Kiut memutar buku tebal yang telah terbuka itu menghadap ke arah kami.
Rani mendekat ke meja. Meraih pulpen dan menulis nama kami bertiga di situ.
***
Lorong penginapan begitu panjang dan berliku. Dari depan terlihat kalau bangunan ini tidak terlalu besar. Ternyata di dalam bisa sebesar ini.Nyai Kiut berjalan terbungkuk-bungkuk di depan kami. Sebuah lilin menyala di tangannya. Menerangi lorong yang dilewati. Tubuh kurus itu tampak tidak sehat. Kasihan. Pantas dia tadi meradang dengan sikap kekanakan kami.
Lampu pada gawai kunyalakan. Menyoroti jengkal demi jengkal tempat itu. Masing-masing bahu kami menyandang tas bawaan. Bekal makanan di mobilpun turut diangkut Bayu.
Sampai berada di bagian dalam ini. Keadaan tetap sama. Cat pada tembok sudah pudar dan kusam. Udara lembab dan dingin. Pada sudut-sudut plaponnya malahan sudah disarangi laba-laba. Jelas penginapan ini tidak terawat.
Krieeek .... pintu kamar itu berderit saat dibuka.
"Kamar mandi ada di dalam. Hanya ada dua tempat tidur. Kalau ada sesuatu. Saya ada di kamar paling belakang," terang Nyai Kiut.
"Siap, Cin. Eng ... maksud saya Nyai," ralat Bayu.
Tanpa banyak bicara, Nyai Kiut berlalu meninggalkan kami bertiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUMBAL PENGGANTI
HorrorObsesi seorang sahabat menyeretku masuk dalam pusaran masalah yang membuat bulu kuduk merinding