"Le, bangun!" Pipiku ditepuk-tepuk lembut.
"Hmm ... sshh ...." Mulutku mendesis memegangi kepala yang terasa berat. Mata masih terpejam.
"Pamali anak gadis bangun kesiangan."
Sret! Bunyi resluiting yang ditarik.
Mataku membuka pelan. Menatap langit-langit rumah tanpa plapon di atasku. Nyawa masih belum terpasang dengan benar. Beberapa detik kemudian aku tersadar. Mengingat-ingat apa yang sudah terjadi.
Bukankah tadi malam ....
"Buruan siap-siap! Bayu dari tadi sudah nungguin kita lho."
"Rani?!" Mataku mengerjap Menatap tak percaya pada Rani yang sedang duduk di sudut dipan.
Dia sudah berpakaian rapi, lengkap dengan wajah yang telah dipoles make-up. Tangan gadis itu sibuk memasukkan benda-benda miliknya ke dalam tas jinjing.
"Ayo buruan! Bayu udah nungguin kita di mobil."
"Bayu?" Aku semakin tak mengerti.
Bukankah tadi malam Bayu terpisah denganku dalam kabut?
"Kamu kenapa, sih? Dari tadi mukanya bengong begitu." Rani tersenyum geli. Jari-jarinya menyisir rambut.
Bola mata Rani tidak memutih lagi.
"Kamu sama Bayu baik-baik aja, Ran?" tanyaku seraya bangkit duduk.
Kedua alis Rani mengernyit. Punggung tangan diletakkan di dahiku.
"Harusnya aku yang tanya. Kamu baik-baik aja, Le?" ujarnya terkikik.
"Hayuk, ah! Jangan kebanyakan mikir. Entar Bayu ngomel tuh. Buruan siap-siap sana!" lanjutnya lagi.
Walaupun masih tak habis pikir. Aku segera beranjak dari dipan untuk bersiap-siap. Rumah Abah Atok sepi. Tidak terlihat siapapun. Di luar langit sudah terang. Aku benar-benar bangun kesiangan.
****
Bunyi mesin mobil yang sedang dipanaskan terdengar nyaring. Begitu aku keluar dari rumah. Bayu sudah duduk di depan kemudi. Rani masih di depan beranda menungguku.
Aneh. Lalu ... apa yang kulihat tadi malam? Mimpi?
"Gak pamitan dulu sama Abah Atok, Ran?" tanyaku.
"Udah pamitan kok. Sebelum kamu bangun. Gak usah kuatir!
"Owh." Aku mengangguk.
Seperti biasa Rani memilih duduk di bangku belakang. Aku selalu kebagian tempat di samping supir.
"Bay!" sapaku seraya menghempaskan bokong di sampingnya.
Bayu tersenyum. Reaksinya sangat hambar. Biasanya ....
Ah, bodo amatlah. Yang penting kami bertiga bisa keluar dari tempat aneh ini.
"Gaes, bagus banget ya pemandangannya." Sepasang telunjuk dan jempolku membentuk bingkai wajah Gunung Salak berselimut kabut dari kaca mobil.
Mobil bergerak pelan keluar dari jalan setapak itu.
"Kapan-kapan kita ke sini lagi, ya. Aku kepingin melukis di sini."
"Boleh, tuh. Pas kamu liburan semester aja, Le." Rani tampak antusias.
"Kita mendaki gunung," usulku lagi.
Rani bertepuk tangan. "Mau- mau! Pasti seru."
Bayu diam tanpa basa. Tatapannya lurus ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUMBAL PENGGANTI
HorrorObsesi seorang sahabat menyeretku masuk dalam pusaran masalah yang membuat bulu kuduk merinding