4

1.1K 198 34
                                    

Hinata sudah biasa menghadapi para perempuan demanding. Sahabatnya, sebut saja Ino yang memang seorang model sangat cerewet dan juga picky. Tapi menghadapi lelaki melankolis baru kali ini.

Hinata sudah tahu dari Jiraya jika Naruto punya krisis kepercayaan. Banyak kehilangan yang harus dilaluinya dari bocah hingga dewasa seperti sekarang. Temannya tidak banyak, dan bahkan tidak bisa dihitung dengan jari satu tangan.

Pernikahanpun, masih tak membuat lelaki itu percaya bahwa Hinata memilihnya.

Entah apapun alasannya cinta tetaplah cinta, meski itu dilandasi terpaksa, karena kecantikan fisik, materi, pemikiran atau bahkan rasa kasihan.

Hinata tidak masalah bila suatu saat Natuto mencintainya karen terpaksa. Baginya itu lebih baik daripaa tidak dicintai sama sekali. Cinta bisa diupayakan, asal belum benci, usaha saja sampai bisa meraihnya.

Jangan malu bicara lebih dulu. Bukankah kebahagiaan itu harus diperjuangkan? Tuhan tidak akan memberi kebahagiaan secara cuma-cuma, kita juga harus berusaha meraihnya sendiri. Persoalan malu atau tidak, itu hanya sebuah pikiran manusia saja. Apakah kita mau bahagia, atau cukup bahagia dengan keadaan sekarang?

"Kenapa kau tidak menceraikan aku saja?"

Hinata mengernyit. Mereka baru saja bercinta dan sekarang malah ribut lagi. Apakah semua suami selalu meng-upgrade bahasan pillow talk mereka sampai tahapan di mana istri tidak bisa menjawab?

"Atau kau bisa lakukan semaumu dan tinggalkan aku." Naruto menutup wajahnya dengan sebelah lengan untuk menghalau cahaya lampu kamar yang baginya menyilaukan.

Hinata justru memiringkan badan, mengamati perubahan wajah suaminya yang terdengar dingin sekaligus rapuh,

"Jangan menampilkan wajah memujamu itu. Karena kau terlihat begitu palsu."

.

Hinata mendecih, "kau pikir dirimu V BTS? Atau Sehun EXO? Sampai kau berpikir pantas untuk dipuja? Aku menghargaimu sebagai seorang suami. Bukan karena aku tergila padamu." Perempuan itu mengibas rambutnya sebentar ke belakang. "Kalau kau tak mau memerankan sosok suami, itu terserahmu." Hinata tak ambil pusing kembali berbaring. Tapi melirik Naruto dari ekor mata membuat emosinya naik dan ia memilih memunggungi sang suami.

.

.

"Kenapa kau membuat semuanya rumit." Keluh Naruto yang kini berbaring menyamping sambil menatap punggung Hinata yang terlihat ringkih dan tak berdaya.

Ya Tuhan! Hinata tidak tahan untuk satu ruangan dengan pria tsundere ini. Harusnya jika lelaki itu tidak ingin Hinata keluyuran, cukup bilang saja 'stay' bukannya malah menyuruh cerai.

Ckck, membuat gerah saja. Hinata merasa perlu minum sesuatu yang dingin. Jadi ia beringsut untuk bangkit berdiri. Tangan itu dengan cekatan menyimpul kimono tanpa perlu memakai kembali pakaian dalam yang masih berceceran.

"Pada akhirnya pun, kau akan pergi meninggalkan aku. Jadi kita percepat saja. Memperlambat justru membuat sakitnya membekas lama."

Perempuan yang sudah memegang handel pintu itu berbalik melihat wajah suaminya. "Aduh!" Hinata memegang dadanya dramatis, "kupikir yang susah dimengerti itu perempuan, tapi lelaki juga sama." Ujarnya sambil memutar bola matanya ke atas. "Yang tidak mau berubah itu kau! Bukan aku."

Naruto diam.

"Coba tanyakan apapun kepadaku tentang dirimu. Aku akan menjawabnya. Aku kenal kau lebih baik dari siapapun selama hampir setahun ini."

Naruto terpancing. Lelaki itu menyibak selimut dengan kasar, lalu dengan cepat meraih boxer dan memakai kimononya dengan cepat. Naruto berjengit sebentar karena tidak suka berkeliaran dengan kaki telanjang. Sebab itulah tangan kekarnya dengan cepat menarik rak kecil di nakas. Dan beberapa saat justru tak bisa menemukan sesuatu yang dicarinya.

wabi-sabi (侘寂)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang