Penerbangan lebih dua belas jam seharusnya membuat badanku remuk dan juga kelelahan, tapi anehnya aku tidak merasai itu. Justru perasaan penasaran terhadap rupanyalah yang pertama kali kuiakui selama perjalanan itu. Apakah itu namanya rindu?
Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah aku bisa meraih kembali apa yang aku lepas—yang kutepis dengan keras. Sayangnya segala penyesalan itu tak berarti apapun karena aku dilanda perasaan cemas. Kegelisahan itu maki naik bahkan ketika roda pacu sudah melambat dan kami tiba di Charles de Guille.
Kalau ada orang jenius di dunia ini, maka Shikamaru adalah salah satunya. Dia budak korporat yang paling tahu cara mengambil hati dan sekaligus menghina. Aku memang buta soal Hinata, dan aku juga buta terhadap diriku sendiri. Mengirimku pada Jiraya adalah kejeniusannya.
Jiraya adalah cermin terbaik yang bisa kulihat kalau aku melepas istriku dan memenangkan egoku.
Tua, sendirian, kesepian dan berkubang penyesalan. Walau kelihatan ceria, genit dan juga serampangan aku tahu bahwa kakek adalah orang yang kesepian. Apa bagusnya bergelimang harta tapi tidak ada satupun yang membuat beliau bisa membanggakannya. Tidak ada cucu kandung yang berbuat onar dan menggunakan namanya untuk dipamerkan. Tidak ada anak yang bisa memanfaatkan namanya itu unyuk bisa meniti karir yang lebih tinggi, dan seseorang yang pernah berada di sisinya ketika susah juga tak bisa menikmati hartanya. Yang ada hanya kekosongan.
.
.
Seperti diriku, nanti. Jadi, aku sudah kalah ketika menginjakkan kaki di toko sake dan berniat ke sana. Skak mat kalau kata Shikamaru.
Ah, Shikamaru, bahkan setelah dari sana kau sudah tahu harus berbuat apa dengan pesawatku agar lebih berguna, juga sopir grab car—partime, yang sudah datang dengan wajah tertekuk masam, si Choji yang memelototiku dari atas sampai bawah."Gila! Aku baru tahu rindu bisa memporak-porandakan CEO Rawson hingga membuatku melek dan memangkas jam tidur siangku."
Kalau saja Shikamaru tidak bilang kalau flat Choji berdekatan dengan Hinata, mana mau dia menurut saja di giring ke sebuah sedan tua yang kelihatannya tidak aman.Aku lebih suka mengucap "arigatou" daripada memperpanjang masalah.
"Ya Tuhan, Naruto Uzumaki sang pahlawan Jepang mengucap terimakasih padaku. Kepalaku pasti akan membesar sampai bisa terbang ke langit." Choji terpingkal.
.
.
Ah, rupanya aku sesombong itu ya. Sampai-sampai mereka tidak bisa melihatku merindui istri sendiri.
"Mampir ke toko kue dulu, atau ke super market, terserah kau. Aku akan membayarimu apapun." Baiklah, bersikap dermawan untuk bisa bertahan hidup di kota ini adalah ide investasi terbaik.
"Oh, my god! Titah Yang Mulia saya akan laksanakan!"
.
*****
.
.
Bukan bunga, atau sekotak berlian. Diam-diam aku gugup mengetuk pintu berpelitur kemerahan itu. Di tanganku kini ada tas kertas berisi belanjaan. Ada kue bagel, mentega, telur, daging cincang, dan keju.
.
.
Pintu terkuak, menampilkan sesosok perempuan yang kini rambutnya keluar dari kunciran. Tapi lebih dari itu, wajah terkejutnyalah yang membuatku mengembangkan senyum lebar.
"Hinata—" sahutan dari dalam flat serta merta didera perasaan marah dan cemburu. Suara lelaki yang memanggil Hinata dengan kasual. Ada yang panas di dadaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/284788254-288-k528683.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
wabi-sabi (侘寂)
FanfictionDimulai dari perkenalan lewat mak comblang, kisah Naruto dan Hinata menjadi sangat plot twist dan bergejolak seperti naik kora-kora. Bayangan pernikahan ideal langsung ambyar. Meski dari luar kehidupan pernikahan tampak sempurna. Naruto seorang CEO...