.
.
Bergelung dibawah selimut ketika langit mulai menjingga adalah suatu kenikmatan yang tidak pernah aku bayangkan. Aku di sini, ribuan kilometer dari tempatku mengais pundi harta dan menyadari waktu yang kulalui bersama Hinata terlalu sedikit.
Menyesal?
Sekarang iya. Setelah tadi kami bermain di toilet dan akhirnya berlanjut di ranjang aku baru menyadari bahwa ini kali pertama di mana dalam hidupku aku jauh dari layar laptop, handphone, i-pad, dan juga kertas kerjaku. Dan ternyata hal itu terasa menyenangkan. Ya, segala hal yang kulakukan bersama Hinata, walaupun itu kecil jadi terasa bermakna dan membuatku bahagia.
.
.
Hinata masih bergelung sambil memelukku. Kaki kami bertautan dan matanya terpejam—meski itu berpura-pura, karena dari tadi aku memergokinya cekikikan tanpa suara. Aku tahu dia bahagia, dan puas tentunya.
"Kau membelikanku jam Cartier ya?"
"Wah, kapan aku memberimu? Kau pasti sudah mengobrak-abrik isi tas kerjaku." Aku mengacak rambutnya yang lembut dan berbau strawberry itu gemas.
Hinata menggembungkan pipi, tak ayal dia juga menyingkirkan tanganku dari kepalanya. "Terimakasih hadiahnya, tapi aku tidak suka dibandingkan dengan Kate Midleton ketika memakainya nanti. Jadi simpan saja ya?"
Aku langsung menegakkan punggung, rasanya ada yang menyentil egoku. Sejak kapan ditolak barang pemberian terasa menyebalkan? "Kau ini jahat sekali, setiap kali kubelikan barang kau tidak mau memakainya." Aku menyibak selimut. Ah, perempuan, pintar sekali membuat kepalaku pening. Sehari saja, apa tidak ada waktu kami ini gencatan senjata?
"Mahal, kalau hilang nanti susah." Dia berkilah.
Halah, alasan apa itu?
Batinku meronta, "Kalau hilang nanti kubelikan. Pakai cincin kawinmu juga, Nyonya Uzumaki. Jangan berkeliaran seolah kau adalah seorang gadis saja." Aku meraih boxer, celana training dan kaos oblong yang biasanya aku pakai di rumah.Ah, pantas saja aku tidak pernah lagi memakainya. Kupikir terselip di mana, ah, tak tahunya malah sudah terbang duluan dengan istriku.
"Cincin cartier itu membuatku pusing, kalau tergores pisau kan sayang." Hinata menggerutu, "jadi kujadikan liontin."
Aku mencebik. Sungguh alasan tidak bermutu. Aku sebagai suami yang bekerja jadi merasa dianggap hina. Apa uangku ini tidak ada artinya? Bikin kesal saja. "Kalau begitu, pesan lagi saja satu. Aku selalu punya cadangan. Bahkan di kantor aku punya cadangan cincin kawin itu."
Hinata justru bertepuk tangan. Matanya menyipit dengan desisan tanda permusuhan. "Wow, kau mempersiapkan diri kalau cincinmu tertinggal di kamar selingkuhanmu jadi biar tidak dicurigai istri, begitu?!"
Dasar perempuan, apakah isi otaknya itu terdiri dari sel reseptor saja? Hingga segalanya jadi terlalu peka sampai-sampai terdengar tidak masuk akal tuduhannya?
.
.
Aku mendekat ke arah si boncel cerewet ini dan mencubit mulutnya yang ngawur, "hanya berjaga-jaga. Aku biasanya melepasnya ketika cek kesehatan rutin. Kalau tertinggal di ruangan dokter ketika di rumah sakit, jelas aku masih punya gantinya. Lagian kadang Shikamaru suka mengerjai. Dia bilang hilang eh, tahu-tahu kartu saktiku kau yang bawa."
.
Nah, apa alasanmu kali ini?
.
Hinata bangkit dari kasur dengan menghentak lantai, "ihh... Kau ini. Aku pergi untuk menuntut ilmu, lagian kan kau harus bertanggung jawab terhadap istrimu ini. Salah siapa sibuk terus. Aku kan jadi tidak bisa minta uang saku." Tangannya sibuk memilih bra dan underwear serta celana capri hitam dan kaos teracotta, sebelum memakainya dengan cekatan.
Huh, dari belakang saja bokongnya ingin ditampol. Apa sebaiknya aku tambah ronde lagi saja?
.
"Ck, baiklah, kapan sih aku menang darimu." Aku tidak suka suasana yang bergejolak, kecuali urusan ranjang. Jadi ketika di Paris dia adalah bosnya. "Aku lapar, berikan aku makanan."
.
"Adududu... Kau kan menganggur, kenapa jadi sering lapar? Biasanya kalau lembur malah tidak mau menyentuh makanan." Hinata mengibas tangan, tapi tak urung menuju pintu.
Diam-diam senyumku terbit. Sudah lama aku tidak merasakan aura jenaka, dan humorku. "Salah siapa yang membuatku kerja rodi memuaskan istri setelah penerbangan tiga belas jam?" Aku kembali merebahkan diri lalu meraih remote dan menonton televisi.
.
"Yak! Tuan Uzumaki, jangan memutar fakta ya! Kau saja yang kegenitan minta mandi bersama. Sekarang enak saja menyuruh istrimu yang lelah ini untuk memasak lagi." Hinata cemberut.
"Yasudah, aku yang masak. Tapi kau harus puas dengan ramen instan." Aku memaksa tubuhku yang sedang dalam posisi tepat ini bangkit, tapi dia buru-buru memotong.
..
"Tidur sana saja! Awas saja kalau besok kau tidak memberiku uang saku." Hinata mendumel dan membuka pintu, kaki ramping itu sudah melangkah ke dapur. Dari sinipun aku masih bisa mengintipnya lewat ekor mata.
.
.
"Ck, siapa yang sudah membawa kartu BLACK CARD ku, dengan itu segala urusan pasti beres. Untuk apa juga minta uang. Ada-ada saja..." Aku sedikit menggeser bantal, dan menyamankan diri. Menekan remote dan menontin netflix. Wah... Ternyata nikmat sekali menjadi pengangguran itu ya. "Hinata... Cemilan!"
"Ih... Ya! Dasar tukang perintah!" Hinata menyahut dari dapur.
Hmm, nikmatnya jadi suami yang normal. Aku mengembang senyum membayangkan akan ada hari di mana aku akan seharian di ranjang, dengan dua atau tiga orang anak yang bermanja kepadaku. Dan Hinata tentu saja akan mengomel seeprti petasan tahun baru.
****
A/n
Kenapa nggak update aps hari libur kemarin? Duh, aku lupa aja vitu. Wkwkwkwk Cahayapu gimana? Kurang uwu apa belum ini??
Btw man teman, berikan waktumu sebentar dong, fanfikku yang NaruHina ada yang masuk nominasi IFA kategori Sci-Fi.
Yang ini loh, bisa bantu ikutan vote di polling IFA ga?
Alamatnya di:
https://bit.ly/PollingIFA21Btw, sankyuuuu
KAMU SEDANG MEMBACA
wabi-sabi (侘寂)
FanfictionDimulai dari perkenalan lewat mak comblang, kisah Naruto dan Hinata menjadi sangat plot twist dan bergejolak seperti naik kora-kora. Bayangan pernikahan ideal langsung ambyar. Meski dari luar kehidupan pernikahan tampak sempurna. Naruto seorang CEO...