8/10

992 160 25
                                    

Wabi 8sp

.

.

Melihat Hinata dari dekat adalah sesuatu yang tak pernah kulakukan selama hidupku. Aku selalu terbiasa dilayani hingga tidak bisa melihat seberapa keras ia bekerja. Contohnya saat ini, ketika rambutnya yang tergulung, dan peluh yang menetes di dahinya karena menyiapkan makan siang kami. Anehnya, ia terlihat begitu seksi dengan apron yang melekat pada tubuhnya.

Awalnya kupikir ia akan membuat toast dengan isian keju, dan daging, tapi ia bersikeras memberiku makanan yang lebih bergizi. Yah, tentu saja, kenyataan aku tidak suka sayur—kecuali yang biasa dimasak olehnya menjadikannya sangat selektif memberiku makanan.

Dulu itu menjengkelkan, tapi aku telah melihat dari sisi yang berbeda. Sebagai seorang suami yang kasmaran, hal itu menjadi istimewa. Apa yang paling manis dari istri yang selalu perhatian dan memperhatikan asupan suami.

 Apa yang paling manis dari istri yang selalu perhatian dan memperhatikan asupan suami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deutch clasic stew dengan mashed potato. Sangat western untuk lidahku, tapi ia begitu baik hati karena ia juga membuatkanku garlic bread sebagai kudapan dan berjanji memberiku kopi.

Ia sendiri duduk berhadapan denganku, dengan meja makannya yang kecil dan tidak muat kalau harus menampung satu orang lagi. Tapi bukankah itu justru sempurna. Ini dunia milik kami, yang mungkin kecil dan sederhana, tapi bermakna dan yang lebih penting, kami bersama dalam satu waktu yang sama.

"Aku tak melihatmu membawa koper," Hinata menoleh ke arah tas kerjaku yang kini teronggok di atas sofa empuknya yang cuma degaris dengan tiga seat.

Aku tersenyum di sela suapanku, "karena sejujurnya ke sini adalah tindakan impulsifku."

"Eh?!" Hinata bersuara dengan keheranan.

Aku meraih jemari tangan kirinya yang tidak memegang sendok, memegangnya dengan rasa sayang yang kini tidak kagi kuabaikan. Dari tangan inilah segalanya bermula. Tanpa kusadari, aku mengelus jemarinya dalam genggamanku. Sangat rapuh dan tidak lembut. Tentu saja tangan yang bekerja dengan cinta dan kehangatan selalu membuahkan passion, yang sebanding lurus dengan tidak halus.

Tidak apa, aku selalu bangga terhadap tangan ini karena bersedia menjadi pendampingku. "Aku rindu." Ujarku jujur.

Hinata menatapku dalam-dalam, kehilangan kata-kata.

"Sebab aku tidak utuh jika kau tidak ada."

"Apakah ini daydream?"

Aku mendengkus sambil tertawa, "tidak. Ini nyata. Dan celakanya aku tidak membawa pakaian ganti."

"Ck! Shikamaru pasti membocorkan aku mencuri baju dan celanamu. Sial benar lelaki itu." Raungnya malu.

Ah... Aku akan mentraktir Shikamaru nanti. "Jadi aku harus mandi di mana? Tidak mungkin aku memeluk istriku dengan tubuh yang tidak fresh ini." Ucapku sambil merapikan meja setelah kami makan.

Kakiku mengayun ke wastafel, menaruh piring kotor dan juga gelas kami. "Aku tahu kau akan marah jika aku mencucinya dengan asal. Maka dari itu, aku tidak berniat membantumu, Nyonya Uzumaki." Kerlingku lalu nyelonong ke kamar mandi.

.

*****

.

"Hinata, handuk!"

"Selalu begitu! Kapan sih kau mau sabar sebentar atau mau menanyaiku letaknya." Gerutu Hinata kesal. Ia baru saja selesai cuci piring dan peralatan masak, sekejap merebahkan diri di sofa sudah diperintah lagi oleh tuan CEO Rawson itu.

Dengan hentakan kaki, ia mengetuk pintu kamar mandi, "ini, buka sedikit pintunya—ah!"

GREP! Tangabku dengan segera menarik handuk itu beserta si nyonya.

"Apa yang kau lakukan, baka!" Hinata menutup wajahnya dengan handuk.

"Jangan kencang-kencang, nanti tetanggamu dengar. Ck! Lagian sejak kapan kau malu begitu. Biasanya kaulah yang menawariku tambah ronde." Gerundelku tak mau kalah.

Dia memandangku aneh, "kau bukan Naruto. Kau pasti sudah dicuci otak!"

"Ck!" Aku mulai tidak sabar. "Kalau begitu ayo bersihkan sekali lagi. Supaya kau ingat siapa diriku." Aku meraih tengkuknya, mempersingkat jarak wajah kami.

Segalanya terasa asing, tapi melenakan. Ketika kakinya membuatku mundur dan kami justru berada di bawah pancuran lagi. Dengan bibir yang saling betraut dan memuaskan.

Ini jauh lebih hebat dari yang dulu. Rasa rindu ini terasa begitu ingin dipuaskan. Tanganku telah sigap menarik baju basahnya ke atas. Meloloskan kaos itu dan menyisakan bra lace berwarna krem. Dada Hinata membusung dan naik turun.

Aku belum mengendurkan serangan ciumanku, dan tanganku kini sibuk melenyapkan hotpant itu dan kini mendapati celana dalam yang sewarna. Wah, dia sudah menyiapkan segalanya.

Bukankah, ini saatnya membalas budi? Dengan memberinya kepuasan di sini. Ketika tubuh kami saling melekat di bawah guyuran air. Dan juga aku telah berhasil melepas semua atribut. Aku dan dia, dengan polos dan penuh keterbukaan mengumumkan, bahwa ini adalah petualangan seks kami yang terdasyat.

Tanganku bergerak meremas pelan aset atasnya sementara pahaku sudah mendesak masuk dan membuat kakinya sedikit terbuka. Menyatukan tubuh kami dalam satu hentakan yang kuat dan bertenaga. Saling memberi dan menerima. Segala desahan kami mengabur dalam rintik air. Mengalir bersama rindu yang tak bermuara.
Aku mencumbui dia tanpa memutus gerakan, tubuhnya yang mulai lunglai kehilangan tenaga karena semenjak tadi kami berdiri. Lalu aku mengurai jarak, melepaskan diri dan membimbingnya ke kloset yang sudah tertutup. Mendudukinya dan menggendong Hinata dan menempatkannya di atasku.
"Mau bermain rodeo?" Kerlingku.

Wajahnya merah sempurna. Tapi tangan kecil itu naik ke rambutku, mengusapnya pelan dengan kelembutan dan sensual. Aku memejamkan mata ketika ia duduk di atasku, lalu memasukkan milikku kepadanya. Menjadikan kami utuh kembali.

Dia menjadi pengendali, karena ia sudah menggerakan pinggulnya dan memberiku sebuah sensasi yang nikmat dan familiar. Karena gerakan tububnya makin intens kupikir kami akan segera mencapai puncaknya sebentar lagi. Dan saat itulah aku berpikir, semoga ada kehidupan baru di antara kami. Meski itu terdengar egois, tapi bersama Hinata aku tak bisa berpikir logis.

Jadi waktu, bisakah sekali ini, berhenti memepecundangi dan berikan kami sebuah oase. Bahwa setelah padang tandus ini tersirami. Ada tunas yang akan tumbuh.

.

.

**** TBC****

.

Note;

Kalean ini disuguhi beginian pagi-pagi supaya apa coba? Ya supaya semangatlah menghadapi hari senin. Wkwkwkwk ya kan, Cahayapu?

wabi-sabi (侘寂)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang