#4

723 50 0
                                    

Entah apa sebabnya, kami semua penghuni asrama tak pernah tahu. Mbak Sinta dan Mbak Fitri bagai Tom dan Jery. Tak pernah akur. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu masalah keduanya.

Dua wanita usia kepala empat itu sama-sama introvert. Suka mengurung diri di kamar. Jarang mau berkumpul dengan kami yang berusia lebih muda. 

Kami tinggal di asrama putri, yang khusus disediakan pihak rumah sakit untuk karyawan wanita yang masih lajang. Itulah yang aku herankan. Kenapa mereka masih lajang di usia sekian? Ups!

Apa mungkin karena hidupnya lebih banyak dihabiskan buat bekerja? Ditambah lagi tinggal di asrama kontak dengan lawan jenis terbatas. Peraturan ketat di asrama yang melarang menerima tamu pria.

"Awuch!" Rambutku tiba-tiba ikut kena jambak. 

"Argh!" Dicakar juga?

Dua musuh bebuyutan itu sama-sama membabibuta. Kami yang berusaha melerai malah ikut diserang. Tak bisa lagi membedakan yang mana lawan, yang mana kawan.

"Uugh!" Aku kena bogem mentah, tepat di pipi.

"Hmmfh ...."Leherku kini malah terjepit di ketek Mbak Sinta. 

Ini menyebalkan!

"Aaargh!" Aku tidak mau diam saja merasakan perlakuan mereka.

Kesabaranku habis. Kubalas kembali serangan keduanya. Aku ikut mengamuk brutal. 

Jambak, pukul, cakar, tendang! Hajaaar!!! Aku tak peduli lagi.

Ini namanya tawuraaan!!!

"Yun ... nyebut, Yun! Kenapa kamu ikutan emosi?!" Maya menarik aku dari pergelutan. Mengguncang keras tubuhku yang berontak.

Aku menatap kosong.

"Yuuun! Nyebuuut!" Maya menepuk-nepuk pipiku.

"Astagfirulloooh ...!" Mata kami bertemu. "Maaf," ujarku dengan nafas terengah.

Entah apa yang merasukiku. Kelelahan serta stres membuatku hilang kendali. Atau karena aku sedang PMS?

"GAAARRGH!!!" Tiba-tiba suara Mbak Sinta berubah besar.

Tubuh tiga temanku terlempar ke segala arah. Kami semua menatapnya tegang. Mata Mbak Sinta berubah merah. Posisi tubuhnya jongkok seperti hewan berkaki empat. Dia mengaum mirip harimau. 

Sumpah ... ini bukan lagi Mbak Sinta!

"Mbak Sinta kesurupan!" Amel berteriak histeris.

Mbak Fitri yang tadinya garang langsung mengkerut. Dia mundur teratur di balik meja.

"Yang pegang hape, telpon security!" usulku.

Semua saling tatap. Tak ada yang pegang. Aku melipir lari ke kamar. Segera meraih gawai di atas nakas.

"Pak, tolong, Pak! Asrama puteri rusuh!" ujarku begitu telepon tersambung.

"Yang jelas, Mbak! Ada apa?" Suara Pak Gino, Kepala Security.

"Ada yang kesurupaaan!" teriakku panik.

****

Tergesa kuraih jilbab kaos yang tersampir di kepala ranjang, lalu lari lagi keluar kamar seraya mengenakannya.

Di ruang tengah, masih seperti tadi. Mbak Sinta mengeluarkan suara yang aneh. Bukan suara manusia. Mengaum dan menggeram. Dari mulutnya kini meneteskan air liur layaknya binatang buas.

Mata merahnya menatap nyalang pada empat temanku yang terpojok di sudut ruang. Terhalang seperangkat meja dan kursi. Posisi tubuh wanita besar itu layaknya harimau yang akan menerkam mangsa.

MEREKA YANG DITANDAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang