#5

712 57 0
                                    

"Bhihihi ... bhihihihi ...." 

Mbak Sinta terkikik sampai tubuhnya berguncang. "Abang ganteng ... jangan galak-galak gitu, ah!" Tangannya kemudian membelai dagu pria yang membentaknya.

Semua yang ada di ruangan itu sontak dibuat molongok melihat tingkah genit Mbak Sinta. Namun, tak ayal mengundang senyum geli sebagian yang lain.

"Jangan banyak tingkah! Panas neraka sudah menunggumu. Cepat keluar!" ancam security muda itu lagi.

Pak security kembali melantunkan ayat suci dengan tempo lambat. Mbak Sinta kembali mengerang.

"Dia tidak akan selamat. Dia sudah ditandai!" geram makhluk itu dengan mata liar.

"Ditandai apa maksudmu?!" 

"Bhihihi ... bhihihihi." Mbak Sinta tertawa melengking dengan tubuh menggelepar.

"Ditandai apa? Jawab!!!"

Security itu membentak, sampai aku sendiri tersentak.

Makhluk itu tak menjawab. Tersenyum genit pada sekurity muda lalu memajukan bibir seperti ingin memberi ciuman.

"Percuma diajak bicara. Cepat keluar dari tubuh ini!" Pak security muda mengarahkan ujung telunjuknya pada pangkal hidung Mbak Sinta. 

"Haaargh!!!"

Makhluk itu mengerang kesakitan. Tubuhnya menegang seolah ada yang akan keluar dari situ. Lalu tiba-tiba tersedak.

"Tolong ambil baskom!" titah pak security.

Maya berlari ke dapur, kembali dengan sebuah baskom. Mbak Sinta didudukan. Dia muntah ke dalam baskom. Aku belum berani untuk mendekat. Ingat penampakannya saat mengejarku tadi yang mirip binatang buas.

"Namanya  Bambwang," bisik Amel seraya menangkup kepalaku dan Nita yang tepat di sampingnya. Dia dan Nita lagi-lagi cekikikan. 

"Apa, sih!" Aku melepaskan tangannya.

"Untung bukan Ferguso," balas Nita sembari menutup mulutnya menahan tawa.

Heran, ni bocah dua. Gak ada gentar-gentarnya sama kejadian tadi. Malah menikmati keadaan.

Memang ada apa dengan nama Bambwang? Aku akhirnya mengamati name taq di dada security muda itu. 

Benar, tertulis 'Bambang.'

Mbak Sinta sudah terlihat lebih tenang. Kami kemudian beringsut mendekat. Melihat keadaannya. 

Saat Mbak Sinta menunduk. Mataku menangkap sesuatu pada tengkuknya. Samar terlihat bulatan sebesar koin kemerahan. Sebelumnya tidak ada. Semakin lama warnanya semakin jelas. Semerah darah.

Aneh! Alisku betaut menatap itu. Tapi, tak berani banyak bicara.

****

"Serius nih, Pak. Sudah aman?" tanyaku. Saat bapak-bapak itu akan meninggalkan asrama kami.

"Tenang, Mbak! Kalau ada apa-apa. Telepon aja Mas Bambang! Dia nih jebolan pesantren." Security lain menepuk bahu temannya.

Security bernama Bambang mengangguk sopan. Sikap sopan menambah derajat kegantengannya. Kalau diliat-liat mirip penyanyi Afgan. Ada lesung pipit di pipi.

"Insya Allah aman, Mbak. Pesan saya setiap hari harus ada yang baca Qur'an di asrama. Biar aura negatif gak bisa mendekat," ujarnya.

Selama ini, penghuni asrama yang rajin ngaji cuma Maya. Yang lain pada pemalas, sama seperti aku.

MEREKA YANG DITANDAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang