#7

633 53 1
                                    

Hawa beranjak dingin. Nyanyian jangkrik dari semak di sekitar asrama membuai malam. 

Hmm ... senangnya bisa menikmati tidur malam lagi. Bergelung dalam selimut. Melepas rindu pada bantal dan guling polkadot kesayanganku.

Beberapa saat aku terlelap.

Tok tok tok!

Suara ketukan bertubi di pintu kamar membuyarkan tidurku.

Berisik!

Kututupi telinga dan wajah dengan bantal. Kesadaranku masih separuh.

Tok tok tok!

"Yun! Bukain cepat, Yun!!" Suara Nita terdengar panik.

"Ck. Iya ... sebentar," jawabku malas.

Mataku melirik jarum jam di atas nakas yang sudah menunjuk angka satu. Setengah hati bangkit mendekati pintu.

Brak! 

Nita mendorong pintu kamarku tak sabar. Tubuhku terhuyung ke belakang.

"Kenapa sih? Ganggu orang tidur aja," keluhku gusar. Menutup pintu kembali.

"Ngeri, Yun. Kamar Mbak Sinta kayak ada orangnya," ujarnya tersengal, dengan wajah pucat pasi.

"Siapa?"

"Hantunya Mbak Sinta!" desisnya tercekat.

Tangannya meremas kuat lenganku.

"Hussh ... gak boleh ngomong gitu!"

"Sumpah! Kalau gak pecaya buktikan sendiri, deh!"

Mataku melebar. Setengah percaya. Kamar Nita dan Mbak Sinta memang bersebelahan.

"Jangan nakut-nakutin, ah! Aku ngantuk mau tidur." Aku naik lagi ke tempat tidur. Menarik selimut hingga leher.

"Numpang tidur di sini, yah!" Tanpa permisi Nita ikut naik ke tempat tidurku.

"Jangan ngorok!" Aku berbaring memunggunginya menghadap tembok.

"Iya .... Eh, Yun. Masa tadi aku dengar langkah orang di dalam kamar Mbak Sinta. Trus kursinya digeser-geser." Nita masih mengoceh.

"Hoaaam ...." Aku menguap. "Besok aja ceritanya, Nit. Please! Aku mo bobok." 

Mulut Nita berdecak. Tak suka dengan reaksiku. Rambutku malah ditarik-tarik usil.

Malam minggu seperti ini, yang ada di asrama hanya beberapa orang. Mereka yang tinggal dalam kota lebih memilih pulang ke rumah. Tersisa anak perantauan seperti aku, Nita, Amel dan Sarah. Mbak Fitri pun tadi sore kulihat telah berkemas, pergi membawa tas besar.

Entah karena mereka takut dengan kematian Mbak Sinta yang tidak wajar. Sedang kami anak perantauan tak punya tempat pulang selain asrama putri. 

Cari kos di luar? Itu tidak mudah Markonah. Harga sewa kos di sini melebihi separuh gaji kami. Belum lagi untuk transport. Biaya hidup di sini tinggi. Mana lagi uang yang bisa kukirim buat ibu?

Tok tok tok. Pintu diketuk lagi.

Tempat tidur berderit. Nita yang bangun. Aku tetap memejamkan mata.

"Tutup pintunya!"

"Hiiih, serem."

Brak! Bunyi pintu ditutup tergesa.

"Yun ... bangun!" Bahuku diguncang.

"Ya, ampun .... Berisik amat sih?!" Aku memalingkan badan. "Lho kok, pada ngumpul di sini? Jangan bilang kalian mau numpang tidur di sini juga!" 

MEREKA YANG DITANDAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang