#8

596 59 0
                                    


"Kyyyaaa!!" Semua berteriak kaget. Lari tunggang-langgang menuju pintu keluar.

"Assalamu'alaikum ... selamat malam." Mas Bambang berdiri di depan pintu begitu daun pintu terbuka.

"Waalaikum salaaam." Serentak kami menjawab. Kedatangan pria itu membuat kami sedikit lega.

"Apa?" tanyaku heran memegangi wajah sendiri. Semua mata tertuju padaku, termasuk si Mas Bambang yang menatap terpana.

Pruk! 

Selembar taplak meja menutupi seluruh kepala. Entah siapa di antara temanku yang melakukannya.

Ya, ampun. Aku lupa pakai jilbab. Sedang tiga temanku itu memang belum sepenuhnya berhijab. Mereka menggunakan jilbab hanya saat memakai seragam kerja.

Mas Bambang menyatakan keheranannya melihat listrik kami padam, ketika ia datang. Sedang seluruh area rumah sakit lainnya menyala. 

Di rumah sakit listrik padam tidak akan berlangsung lama karena secara otomatis akan digantikan mesin generator. Setelah dia periksa, ternyata tombol on pada meteran listrik asrama puteri berubah off.

Kamipun menceritakan hal menakutkan yang tadi kami alami. Tak lama kemudian Pak Gino kepala security turut datang menyusul.

Lantunan ayat suci menggema di ruang tengah asrama putri. Mas Bambang bersama Pak Gino kepala security duduk berhadapan membaca Al.Quran.

Malam ini kami berempat bisa bernafas lega karena mereka akan berjaga di asrama putri sampai menjelang pagi. Akhirnya Nita, Amel dan Sarah berkumpul di kamarku untuk melanjutkan istirahat.

***

Sore itu aku menemani Maya ke rumah Pak Rahmat. Maya mendapat amanah orang tuanya untuk menyampaikan sekedar oleh-oleh. Sebagai bentuk perhatian. Maya sering dititipi makanan oleh ibunya, bukti mereka masih peduli pada pria tua itu.

Tempat tinggal Pak Rahmat terletak di dalam kebun tanaman hias milik rumah sakit. Melewati danau kecil, dipenuhi teratatai putih yang bermekaran. Danau yang sengaja dibuat pihak rumah sakit sebagai serapan air.

Aku dan Maya menyusuri jalan setapak, dinaungi rimbunnya pohon bambu, yang tumbuh di sepanjang sisi danau. Suara gesekan dedaunan tertiup angin mengiringi langkah kami.

Penampilanku saat ini mirip santiwati keluar dari pondok. Tepatnya aku yang latah mengikuti cara berpakaian Maya. Ingin tau bagaimana rasanya memakai gamis dan hijab besar. 

Ssstt ... baju sama hijab boleh pinjam sama Maya.

Deburan angin leluasa menerpa tubuh tipis kami. Gamis gombrong serta jilbab besarpun berkibar-kibar. Mirip layangan. Hihi.

Aku senang berada di luar sini. Lepas dari suasana asrama puteri yang mencekam. Untuk nanti malam pihak rumah sakit telah meminjami kami sebuah ruangan tempat istirahat. Asrama sementara dikosongkan.

***

"Asalamu"alaikum ...." Maya mengucap salam.

Tidak ada sahutan.

Sebuah rumah mungil terbuat dari bata merah ada di depan kami. Rumah yang tampak sejuk dikelilingi pohon asam berdaun rindang. Suasana sepi, tak ada tanda kehidupan. Halaman depan dipenuhi berbagai bibit tanaman hias. 

"Kamu sering ke sini, May?"

"Dulu, waktu isterinya masih hidup." Maya menggeletakan kresek yang ia bawa di beranda rumah itu.

"Lho? Biasanya kamu ketemu Pak Rahmat di mana?" Aku menatapnya heran.

"Biasanya aku nyamperin dia di taman rumah sakit. Tapi, kali ini ibu minta aku nganter ke rumahnya. Mau tau kondisi rumahnya seperti apa. Kasian sudah tua," terangnya.

MEREKA YANG DITANDAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang