#10

630 56 2
                                    


Petir menggelegar memecah hening malam. Kilat menyala seakan membelah langit. Gemuruh air hujan beradu dengan riuhnya angin.

Dingin mencekam. 

Guyuran air langit membasahi tanah merah.  Batu-batu nisan itu bergerak gelisah. Kubangan lumpur di sekitarnya bergolak hebat. 

Satu per satu jasad penuh lumpur menyeruak dari dalam tanah. Wajah- wajah tanpa bola mata bangkit merintih. Berjalan gontai beriringan mendekati area rumah sakit.

Lolongan panjang anjing mengikuti langkah-langkah terseret. Bunyi gong ditabuh menggema dari kejauhan. Bagai isyarat terbukanya gerbang tak kasat mata.

***

Gooong!!Gooong!! Gooong!!

Bunyi gong terdengar menggema ke segala penjuru. 

Brugk! 

Sesuatu membentur. Namun, kemudian menembus tubuhku. Sosok-sosok mayat hidup itu lewat begitu saja. Bau busuk bercampur lumpur basah. 

Makhluk-makhluk mengerikan itu terus bergerak pelan. Terdengar rintihan tak jelas dari mulut mereka. Satu per satu melewatiku. Menuju tempat yang sama. 

Belokan angker.

Tubuhku seketika melayang. Ringan ... seringan kapas yang tertiup angin.

Belokan angker yang tadinya sepi. Tiba-tiba seramai pasar malam. Terang benderang oleh cahaya kilat yang terus menyambar. Padang ilalang air setinggi kepala yang menutupi rawa, kini layaknya perkampungan yang ramai.

Sosok-sosok mayat hidup seketika berubah bentuk begitu memasuki belokan angker. Mereka berubah menjadi manusia kembali. Lumpur busuk yang tadi menutupi, menguap begitu saja.

"Sateee! Mampir dulu, Neng!" Seorang pria dengan ikat kepala hitam melambai padaku.

Aku menoleh ke kanan kiri. Barangkali bukan aku yang dia panggil.

"Iya. Saya manggil, Neng." Dia menunjuk ke arahku.

Pria setengah baya berkumis itu berdiri di samping sebuah lapak kaki lima. Tangan kanannya sibuk mengipas-ngipas di atas bara api. asap pembakaran mengepul ke udara. Aroma daging terbakar membuat perutku lapar.

Kakiku mendekati lapaknya.

"Hayuk, Neng. Silakan duduk!" Dia tersenyum senang.

Tanpa menunggu persetujuanku. Pria itu bergegas menyajikan satu porsi sate bumbu kacang lengkap dengan potongan lontong di hadapanku. 

Hmm ... aroma daging yang baru dibakar menggugah selera. Kebetulan sekali. Perutku memang lapar, belum makan malam.

"Satenya pake daging apa, Pak?" tanyaku memastikan.

"Kenapa memangnya, Neng?"

"Anu, Pak. Maaf. Kalau daging ayam potong saya gak bisa makan. Soalnya alergi."

"Ooh, begitu. Bukan daging ayam potong ini, Neng."

"Lalu daging apa?" Alisku bertaut menatapnya.

"Daging ... daging ...." Bapak itu seperti berpikir. Mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dahi. 

Aneh. Masa dia sendiri tidak tahu daging yang dia jual?

"Suster cantik, ternyata ada di sini. Saya dari tadi nyari, lho." Seorang wanita bergaun merah menyapaku. Seolah kami sudah saling mengenal.

Aku mengamatinya sejenak. Mengingat-ingat di mana aku pernah berjumpa dengannya. Wanita berwajah cantik memakai gaun merah panjang yang menutupi seluruh kaki. 

MEREKA YANG DITANDAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang