Kita adalah sepasang manusia yang baru saja jatuh cinta, jatuh tapi tidak dengan cinta. Jatuhku adalah tindakan paling fatal. Seharusnya sebelum meletakkan rasa, aku memikirkan semua risiko. Namun, aku adalah manusia yang ketika bahagia tidak tahu arti penyesalan.
A l i v e
Mata indah itu masih terpejam, kerapuhan Nadia terpancar jelas dari caranya bersandar di atas dada Ditto. Ditto masih meneliti wajah natural Nadia. Haruskah dia bersama sahabatnya malam ini? Dia seperti laki-laki brengsek yang menjamu Nadia dengan ciuman, sentuhan, dan memasuki tubuh gadis itu yang menyelam bersama teriakan Nadia yang meraung, menerangkan umpatan-umpatan gila karena kekecewaanya pada hari kemarin. Kamar ini menjadi saksi atas aksi memalukan mereka berdua.
Sudah pukul satu malam. Namun, Ditto masih sama seperti beberapa jam lalu, dia tidak tahu mengapa dirinya melakukan aksi gila itu saat Nadia sedang rapuh. Seharusnya, dia tidak memanfaatkan situasi ini, tidak seharusnya dia memanipulasi Nadia sama seperti korban sebelumnya. Urusannya dengan Pelita belum kelar, tapi haruskah Nadia yang menjadi korbannya lagi?
"Aku bakalan keluar dari FK, nilai OSCE-ku rendah, To," keluh Nadia beberapa jam lalu, membuat Ditto tidak berucap apa pun selain memeluk Nadia agar gadis itu berhenti menangis.
"Masih ada cara lain, Nad, percaya sama aku. Ini semua cuma soal waktu. Semua orang tua memang enggak tahu apa yang ada di pikiran anak-anaknya begitupun dengan Mama kamu. Ada aku di sini, ada Dzahir yang juga siap bantu nilai kamu naik lagi."
"Tapi Prof. Ad—" Ditto tidak membiarkan gadis yang ada di hadapannya berkata lebih dulu, ucapan Nadia terputus begitu saja saat Ditto mencium bibir Nadia tanpa izin. Herannya, Nadia tidak memberi perlawanan, gadis itu mengikuti ritme gerakan bibir Ditto yang makin liar dan makin dalam. Saat mencapai puncak klimaks, Nadia tersungkur dengan kaus yang sudah tertinggal di atas ubin.
"Seks bukan tanda cinta, Nad." Batin Ditto terus mengatakan kalimat itu. Malam ini prinsip yang dibangun Ditto susah payah telah runtuh, bukan Nadia yang harus berakhir di tangan Ditto, Nadia tidak pantas menerima perlakuan Ditto. Harusnya, dia sama seperti Dzahir, menyembunyikan intrik menyebalkan itu; sebuah intrik percintaan yang berkedok persahabatan.
"Harusnya gue bisa jagain lo sama seperti Dzahir jagain lo. Maafin gue, Nad." Ditto tidak bisa melakukan apa-apa selain mengelus puncak kepala Nadia, gadis itu bergerak dengan mata terpejam. Dalam selimut yang menutupi tubuh mereka, Ditto memeluk erat Nadia. Mengecup puncak kepala gadis itu, dan membiarkan tubuhnya letih karena menjadi sandaran empuk Nadia malam ini.
A l i v e
"Gue liat di story Shanum dia lagi pap infus, sakit apa tuh anak, Rin?"
"Asam lambung sama darah rendahnya kambuh, To. Dzahir dari kemarin enggak kena dihubungi padahal Dokter Susanto nyariin dia, katanya dia harus ke rumah Dokter Susanto buat bahas jurnal internasional gabungan beberapa anak itu."
"Kapan lo mau jenguk Shanum?"
"Entar malem."
"Gue ikut ya, Rin."
"Boleh."
Saat menatap Nadia yang tengah membaca buku panduan skill lab Antropiometri, Ditto dibuat hilang fokus karena peristiwa beberapa jam lalu. Keintiman antara dirinya dengan Nadia masih terekam jelas. Andai bukan Nadia yang dia lucuti, sudah pasti Ditto dapat bersikap biasa saja di hadapan Azzam dan Rini.
Kehadiran Nadia tidak diharapkan di rumah. Semua orang sibuk memaki satu sama lain, bahkan dengan mata telanjang, sebelum Nadia pergi dan menginap di hotel bersama Ditto, dia melihat mamanya menampar Papa yang saat itu sedang menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
A l i v e
Teen Fiction"Mental tiap orang itu nggak sama, jangan lo samain kayak mental lo, Zam. Mereka yang terlihat baik-baik saja di hadapan lo, justru mereka yang paling gencar minta sama Tuhan buat dipulihkan mentalnya. Dan, mereka yang lo hina belum tentu lemah kaya...