Bab 12. Rumah Ini Bukan Tempat Nyaman

17 9 0
                                    

Kamu memerintahkanku untuk tetap tinggal dalam ruang gelap dan sunyi. Namun, kamu malah berlari meninggalkanku meringkuk seorang diri tanpa teman. Kenapa harus aku? Jauh sebelum kamu datang, ruangan ini lebih terang, tapi begitu kamu datang kenapa tidak ada cahaya yang lebih terang seperti yang kamu janjikan?

A l i v e

Dzahir

Nad, kapan gue bisa ketemu lo?

Ada yang mau gue omongin

Please, I'am beggin you. Ini terkait IPK lo

Lo enggak capek menghindar?

Gue tau permasalahan antara lo, Azzam, Rini dan Ditto

Anggap aja gue enggak ada sangkut pautnya sama masalah lo

Nadia berdesis begitu membuka ponsel dan mendapati beberapa pesan dari Dzahir, sia-sia dia mengabaikan Dzahir bila teman cowoknya itu tidak punya niat untuk menyerah. Indeks Prestasi Kumulatif semester 1 jauh dari perkiraan Nadia, mendapatkan nilai jauh di atas rata-rata membuat Nadia paham apa yang harus dia lakukan, yaitu mencoba berdamai dan menuruti ucapan mamanya. Mungkin, dengan caranya keluar dari FKUI Mama bisa menilai dirinya sebagai anak berguna yang tidak harus membeli buku seharga ratusan sampai jutaan.

Namun, bagaimana dengan Papa yang selama ini selalu mengusahakan yang terbaik untuk Nadia? Dalam diamnya seorang ayah, Nadia tahu papanya berusaha menjadi orang pertama yang memenuhi kebutuhan Nadia, tapi semuanya terasa rumit saat dia dan Papa berjauhan. Jika dengan cara keluar dari kedokteran akan membuat keluarganya kembali utuh, Nadia bersiap melepas almameter kuningnya bersama harapan yang binasa.

"Nadia kenapa?" Eyang yang sudah sadar dari koma mengelus pelan rambut Nadia. Walaupun harus berakhir di atas kursi roda, setidaknya Eyang selamat dari serangan jantung yang sempat membuatnya tidak sadar selama satu minggu dua hari. Rumah utama terasa sepi, membuat Nadia harus bolak-balik antara Gambir-Cengkareng hanya untuk bertandang ke rumah Tante Mira, adik kandung Papa.

"Nadia enggak apa-apa Eyang." Tidak mungkin Nadia mengungkapkan hal yang mengganjal dalam hatinya pada Eyang, dia harapan keluarga Papa, termasuk wanita tua berambut putih dengan lipstik menyala terang di hadapannya.

"Eyang tau Nadia lagi sedih."

"Eyang tau apa pun tentang Nadia," lirih Nadia. Baginya, Eyang adalah wanita terkuat, Nadia berpikir jika Papa adalah seorang perempuan, dia pasti mewarisi sifat Eyang yang tidak pernah mau berdebat, apa pun masalahnya Eyang mengutamakan diam ketimbang salah bicara.

Karena Mama, Eyang mendapatkan serangan jantung pertama. Entah salah apa wanita berambut panjang ini hingga Mama menyalahkannya atas ketidakbecusan Papa mencari nafkah yang mengharuskan Papa kena PHK. Pandemi membuat semua orang saling menyalahkan, padahal sektor perusahaan yang wajib dipertanyakan, kenapa mengeluarkan pegawai lama yang lebih banyak mengabdi ketimbang pegawai baru yang bekerja tidak ada enam bulan.

Walaupun Papa menyuruh Nadia tidak usah memikirkan masalah keluarga, tapi yang namanya anak mustahil tidak kena dampaknya. Apalagi ditambah dengan dukungan yang minim, membuat Nadia makin hilang arah dan akhirnya mengandalkan Ditto yang terkesan abstrak.

"Apa yang mengganggu pikiran Nadia?"

"Papa Mama, kuliah, dan pertemanan Nadia yang makin lama makin renggang. Eyang, salah enggak kalau Nadia pengen nyerah?" Nadia mengambil posisi menghadap Eyang, duduk di bawah kaki Eyang, dan menatap wanita itu penuh kesopanan. "Nadia ngerasa hidup Nadia bedaaaa banget, masalah Papa dan Mama belum kelar, tapi nambah masalah baru lagi."

A l i v eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang