Sebenarnya kita adalah manusia-manusia terluka yang kebetulan berdiam diri dalam satu lingkungan toksik yang sarat akan makna kebersamaan dan juga kehancuran.
A l i v e
"Eh, Shanum. Sendirian aja?"
Mendengar namanya dipanggil, Shanum menoleh dan meninggalkan bacaannya dalam genggaman. Laki-laki berkacamata berjaket denim dengan bau parfum menyengat berdiri di sisi kirinya, mendobrak kesadarannya yang sempat hanyut dalam bacaan berjudul Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal.
Ditto sudah lama berdiri di seberang rak, tapi dia baru memberanikan diri menyapa Shanum saat dirinya berjalan menyisir area buku kedokteran.
Sementara menunggu Shanum menjawab sapaannya, Ditto mengambil buku yang tidak jauh dari bagian kosong tempat awal buku yang ada dalam dekapan Shanum. "Kamu yakin mau masuk UI?"
Entahlah, sejak insiden pemukulan antara Ditto dan Dzahir Shanum mulai membentangkan jarak, walaupun terang-terangan Dzahir berkata pada Shanum bahwa Ditto sudah meminta maaf. Namun, tetap saja Shanum memandang Ditto sebagai orang yang berbeda dari awal mereka kenal. Kabar bahwa hubungan Nadia dan Ditto yang sangat toksik membuat Shanum antisipasi, dan berspekulasi bahwa Ditto adalah cowok kasar yang selama ini dibicarakan Dzahir.
"Iya yakin," jawabnya singkat. Shanum sempat melirik sejenak sampul buku jenis hard cover yang kini tengah dibaca Ditto, Emergency Medicine PreTest: Self Assessment and Review. Oh, ternyata benar ucapan Dzahir, kalau Ditto sedang berupaya masuk dalam organisasi yang sama seperti Nadia. "Bahan bacaan buat masuk Tim Bantuan Medis?"
Ditto menoleh cepat. "Kok tahu?"
"Kemarin Kakak ngasih tahu," jawabnya singkat.
"Jadi Dzahir selalu update berita tentang aku ya, Num. Kamu belum jawab pertanyaanku, lho. Sendirian ke sini?"
Ditto sempat celingukan, memastikan tidak ada kehadiran Dzahir. Sekarang pukul delapan malam, dan Shanum masih mengenakan setelan seragam putih abu-abu walaupun kemeja putihnya tertutup varsity jacket berwarna biru tua dengan lambang dirgantara di bahu kiri. Pun, kelelahan yang terpancar dari wajah Shanum membuat Ditto melemparkan tatapan iba. Ditto tahu perjuangannya tidak main-main, wajah lugu itu kerap kali menyunggikan senyum lebar saat dirinya merasa letih oleh tuntutan.
"Kamu tertarik sama dunia forensik?" Melihat Shanum masih setia dengan bacaannya dan tidak menjawab pertanyaan Shanum sama sekali, bukan berarti Ditto mengalah karena tak kunjung mendapat jawaban dari Shanum.
"Banget sih, To."
Hmmm, menarik. Batinnya. "Kalau boleh tahu kenapa? Mama kamu padahal dokter spesialis bedah."
Menarik napas panjang dan memasukkan buku ke dalam keranjang belanja, Shanum melirik Ditto sebentar. "Karena ilmu forensik mempelajari kehidupan orang yang sudah mati, dan aku sudah dari lama ingin mati, To." Alih-alih berlalu dan mengulas senyum sebentar, Shanum mulai berjalan meninggalkan Ditto yang menganga lebar.
Di balik masker yang menutupi bibirnya, Ditto tahu bahwa senyum Shanum tidak pernah absen dari bibirnya. Ucapannya barusan menandakan bahwa sudah lama Shanum tidak nyaman dengan apa yang dia dapatkan.
Masalah mereka memang berbeda, Ditto yang pernah nyaris mati karena kemiskinan juga hampir mati karena tidak makan. Sedangkan Shanum yang lahir di keluarga menengah atas tidak sedikit pun bahagia dengan hartanya, yang ada orang tuanya mengungkung Shanum agar selalu mendapat hasil memuaskan walaupun badan kurus itu tidak sanggup lagi menahan kegiatan ekstrem yang menyebabkan dirinya jarang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A l i v e
Ficção Adolescente"Mental tiap orang itu nggak sama, jangan lo samain kayak mental lo, Zam. Mereka yang terlihat baik-baik saja di hadapan lo, justru mereka yang paling gencar minta sama Tuhan buat dipulihkan mentalnya. Dan, mereka yang lo hina belum tentu lemah kaya...