Bab 9. Renggang

30 10 1
                                    

Sekarang siapa pun yang ingin mendekat, silakan. Yang ingin menjauh, silakan pintu terbuka lebar untuk memberi jalan bagi mereka yang tidak ingin menetap. Namun, tolong perbaiki dulu luka yang ditinggalkan, karena tamu yang baik tidak akan meninggalkan kesan buruk, kan?

A l i v e

Kalau manusia bisa berdiskusi dengan Covid-19 sudah pasti Dzahir akan menjadi orang pertama yang ingin menyuruh virus itu enyah dari muka bumi. Covid-19 membuat semua orang menderita termasuk dirinya, pembelajaran yang dilakukan secara online membuatnya mengantuk dan nyaris menggelar tikar di ubin kamar.

"Gue butuh tutor paling jenius selain Dzahir ada gak, sih? Pandemi kalau bisa digoreng udah gue makan dari lama. Gimana kita bisa menerka apa yang diucapin dokter kalau bentuk pasien aja cuma boneka onlen gitu," cerocos Azzam memenuhi riuh kamar Dzahir. Suara-suara bising yang dihasilkan dari pengeras laptop membuat semua manusia yang sedang memenuhi pembelajaran daring tidak bisa meletakkan fokus pada dokter yang mengajar.

"Itulah kenapa, Zam. Sebelum melangkah ke materi Basic Abdomen Examination kudu paham Basic Abdominal Anatomy. Kemarin Anatomi lo UP*, kan?" Rini menunjuk Azzam dengan pena. Gadis itu tidak tanggung-tanggung membangkitkan ingatan menyebalkan Azzam.

"Gimana gue enggak UP? Gue aja cuma tau letak hati sama usus, selebihnya nol."

Penuturan Azzam membuat Rini tertawa terpingkal-pingkal sampai meneteskan air mata karena mengingat raut panik Azzam ketika ujian berlangsung. Menjawab lima puluh soal dalam waktu satu jam tidaklah mudah untuk mahasiswa kedokteran, pertanyaan rumit terkait inervasi saraf pada organ perut membuat Azzam ingin membedah tubuhnya sendiri untuk mengetahui letak-letak organ, tapi itu semua tidak mungkin. Pandemi menjadi momok bagi seluruh mahasiswa kesehatan yang tidak bisa melakukan praktikum secara tatap muka. Tidak bisa mengamati kadaver, atau bahkan meraba tubuh-tubuh mayat tanpa identitas itu.

"Gue mau mati," celoteh Azzam lagi.

Di sela-sela mendengarkan penjelasan dokter yang mengajar, Rini memicingkan mata, bersiap untuk memberi petuah pada Azzam yang selalu putus asa ketika menghadapi masalah kuliah menimpanya. "Mati? Lo pikir mati bisa bikin lo bahagia? Di dunia aja lo sering ngeluh, apalagi mati yang belum jelas masuk surga atau neraka. Mikir, dosa lo masih sebesar es kutub utara yang belum mencair. Cairin dulu dengan amal jariyah, maka lo boleh mati setelah menghapus dosa."

Dzahir ngakak, Rini pintar menganologikan apa pun saat lawan bicaranya membicarakan hal remeh. Julukannya sebagai gadis filsafat seringkali membuat Azzam dan Rini saling cekcok, masalah sepele yang selalu dibesar-besarkan dengan anaologi ala Rini membuat siapa saja tidak bisa menyela. Dalam circle mereka, hanya Rini yang paling benar, lalu dibantu ucapan Dzahir yang mendukung argumen Rini.

"Di-"

"Apa lo, mau ngebela Rini? Gue udah diem juga masih disudutin." Azzam memotong ucapan Dzahir, suasana hatinya mendadak turun drastis tapi masih ingin mengutarakan sesuatu yang sedikit mengganjal pikirannya. "Basic Abdominal Examination PJ-nya si Nadia tapi kenapa belakangan ini dia pasif, ya? Cuma bagiin link terus nyampein pesan Dokter Cika, selebihnya nothing, biasanya juga dia yang jelasin materi kalau kita gak paham materi gini. Gue ngerasa Nadia sama Ditto jarang belajar bareng kita lagi, kenapa, Za?"

Pertanyaan itu sukses membuat Dzahir menoleh cepat, dia melakukan kontak mata dengan Rini yang kebetulan tahu permasalahan yang sedang menimpa Nadia walaupun tidak sepenuhnya tahu permasalahan antara Ditto dan Nadia. Rini hanya menganggap dua temannya menjalin hubungan, tapi sebenarnya hubungan Nadia tidak lebih dari hubungan toksik.

Dzahir mengabaikan pertanyaan Azzam, malas menjelaskan masalah yang sedang menimpa Nadia, momennya tidak pas. Dia tidak bisa membagi fokus, penjabaran materi yang dijelaskan dokter pengajar begitu penting ketimbang pertanyaan Azzam.

A l i v eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang