Bab 22. Kabar Memilukan

20 8 14
                                    

Yang kutahu dia terluka karena menyimpan semuanya sendirian. Tanpa keluarga, teman, kekasih. Murni berteman dengan hidup yang benar-benar menyakitkan. Herannya, dia selalu tersenyum layaknya tidak ada apa-apa.

A l i v e

Berita hengkangnya Pelita dari FKUI tersebar luas sampai telinga kakak tingkat. Bukan karena drop out, bukan keluar karena bermasalah, bukan karena kasus-kasus ringan, melainkan keluar karena alasan tidak nyaman. Gila saja, semua remaja yang berasal dari jurusan saintek berlomba-lomba masuk FKUI melalui berbagai cara, sedangkan Pelita yang dengan mudahnya lolos jalur SIMAK UI malah keluar dengan alasan tidak nyaman. Ah, semua mahasiswa UI yang terlanjur masuk juga tidak nyaman, bahkan ada yang sampai setres karena sistemnya yang ketat, tapi mereka bisa bertahan.

Pelita keluar memang karena tidak nyaman dengan apa yang dia peroleh, mungkin bukan hanya karena itu. Ditto turut andil dalam alasan utama Pelita meninggalkan almameter kuning dan makara hijau. Mencuatnya kabar kepindahan Pelita ke Fakultas Kedokteran Brawijaya Malang membuat teman seangkatan menggeleng tidak paham.

Tetapi, tidak dengan Ditto yang tampak bergeming di meja kafe dengan mata yang masih membaca ucapan selamat tinggal Pelita di grup angkatan. Seketika ponselnya terus berdering, beberapa kawan yang mengenal Ditto dan Pelita sebagai pasangan bertanya karena kepo. Hubungan mereka sudah lama tandas, dua bulan lalu Pelita mengusir Ditto dengan kebencian yang dia tunjukkan. Bahkan, Ditto masih mengingat tangan yang terpasang jarum infus itu gemetar menunjuk pintu keluar.

"Pelita beneran pindah ke UB? Gila, sih. Kekayaan bokapnya berapa emang?" celetuk Rini. Dia sama seperti semua orang yang berada dalam satu meja, membaca berita yang menjadi sumber kehebohan grup angkatan.

"Kabarnya bokapnya kerja di Kuala Kencana Papua, orang Freeport," ucap Dzahir. Dia menatap layar MacBook, membaca pesan WhatsApp dari dalam web.

Rini ternganga. "Ah... pantesan, pindah kampus udah kayak pindah kostan."

Dzahir mengekeh kecil mendengar ucapan Rini. "Lo kenapa, To?" Melihat Ditto menggenggam tangan, membuat Dzahir mengajukan pertanyaan. Sejak tadi, bila mendengar Rini dan dirinya membahas pindahnya Pelita ke universitas lain, seperti membuat Ditto geram. Dengan hati-hati, Dzahir kembali bertanya. "Lo mau cerita?"

Ditto yang merasa terpanggil dengan pertanyaan singkat itu segera mengempaskan ponsel ke atas tumpukan buku. "Gue—" Gagap seolah menjadi hal biasa setelah diagnosa keluar. Ditto sedang mengendalikan dirinya sendiri agar tidak kalap.

"Kalau lo enggak siap cerita, it's okay. Entar malem, kalau kondisi lo udah tenang, lo bisa cerita." Tanpa menoleh ke arah Ditto, Dzahir memfokuskan pandangan pada bacaan dalam diktatnya yang dipenuhi penjelasan dengan tulisan latin yang nyaris sulit dibaca. Dia tidak berani menatap Ditto yang tengah mengendalikan emosi, dia juga tidak mau menjadikan tatapan itu untuk menghakimi Ditto karena Dzahir tahu hal yang mengganggu temannya.

Saat Shanum dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu, Dzahir sempat mengunjungi Pelita. Awalnya ragu, mengingat kondisi Pelita begitu parah, tapi Dzahir tetap masuk dan meminta izin pada dokter jaga dengan diberi batasan waktu. Begitu sampai di sisi brankar, Pelita membuka mata dan bangun dari tidur begitu menyadari ada Dzahir yang tengah menatapnya dengan raut ketakutan.

Sisa-sisa darah kering yang menempel di dahi dan leher yang dipasangi cervical collar tampak begitu menyeramkan. Tidak hanya itu, wajah Pelita juga dipenuhi luka akibat serpihan kaca. Belum lagi mata merah karena pendarahan subkonjungtiva. Dzahir seperti melihat korban yang selamat dari pembunuhan sadis yang sedang berbaring di ICU.

Mobil Pelita terbalik dan dihantam mobil-mobil lain yang melaju kencang dari arah belakang. Sempat terjadi kecelakaan beruntun tapi tidak memakan korban jiwa, hanya saja beberapa korban memang lunglai dan dikabarkan masuk penanganan emergency.

A l i v eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang