Ada banyak hal yang tidak bisa berhenti dipikirkan. Tentang gambaran hari esok, tentang jadi apa suatu saat nanti, dan apa saja masalah yang akan datang. Salah satunya kematian, Tuhan memberiku napas bukan untuk disalahgunakan, tapi kenapa ada banyak manusia yang sering menyakiti orang lain? Seolah-olah bernapas hanya untuk menanam luka, bukan untuk menebar kebaikan.
A l i v e
"Sori ya, Za. Gue sebenernya mau ke makam Ayah sendiri, tapi Bunda nyolot nyuruh lo yang nemenin." Rini tidak tahu harus berkata apa lagi setibanya di mobil Dzahir. Dia memilih untuk diam sebentar, tidak sibuk seperti menambah polesan bedak atau liptint. Harap-harap cemas bila Dzahir, si cowok minim ngakak ini merasa ilfeel karena harus menjemputnya di depan Anggun Bakery 1998, membuat beberapa karyawan memelototi Dzahir yang tadi mencari Rini sampai belakang toko.
"Sans, gue juga bosen di rumah. Shanum udah berangkat sekolah dari jam lima tadi," ucap Dzahir sembari menarik tuas, dan menoleh pada arah kaca sepion, memastikan tidak ada kendaraan lain yang melaju dari arah belakang.
Rini tertegun sejenak mengamati wajah Dzahir yang terlihat menarik. Saat fokus begini, cowok itu terlihat lebih dewasa. Apalagi Dzahir memakai kemeja hitam dipasangkan dengan celana chinos krem, makin terlihat dewasa saja.
"Lo kenapa ngelihatin gue?"
Seketika Rini gelagapan, dia mencari apa pun yang ada di dekatnya sebagai bentuk pengalihan. "I got you!" Batin Rini girang. Entah permen siapa yang ada di atas dasbor mobil, setidaknya permen cokelat itu berhasil membuat Rini tidak mati gaya.
"Laper, Za, belum sempat makan nasi," sangkalnya.
Tiba-tiba Dzahir mengekeh kecil melihat aksi Rini yang tidak tenang. Dalam tawa kecil saja kesan dewasa dan keren itu tidak luput dari ciri khas Dzahir. Atmosfer di sekeliling Rini mendadak hangat, telapak tangannya mulai berkeringat padahal tidak mungkin juga Honda Civic mahal ini AC-nya mati.
"Lo kangen Geprek Babe, enggak?"
Spontan menoleh, Rini hampir melupakan tempat makan itu. "Kangen, tapi kalau ke sana ketemu Ditto, mending gue balik kanan bubar jalan."
Lampu merah pertama setelah hengkang dari Anggun Bekary menghentikan laju kendaraan, di sela-sela menunggu lampu berganti warnah hijau, Dzahir mengangkat pergelangan tangan dengan alis bertemu. "Masih jam tujuh, Rin. Mending kita beli Geprek Babe dulu, enggak usah makan di sana. Bungkus, abis itu cabut ke makam. Kita makan di parkiran fakultas aja, gimana?"
Rini tersenyum getir. "Enggak ada tempat makan lain selain Geprek Babe, Za?"
"Masalah gue cuma sama Ditto, anaknya Babe, bukan sama babenya. Jadi lo salah mempertanyakan hal itu dengan intonasi enggak suka kayak tadi."
Sialan! Rini dibuat bungkam, rasanya ada tombak yang menancap dari ujung kepala sampai menembus jantung. Lagi-lagi dia salah bicara, dan lagi-lagi pula ucapan Dzahir adalah fakta. Realitanya mereka bermasalah dengan Ditto bukan orang tuanya. Kecuali kalau Ditto melapor ke orang tua, dan Babe ikut-ikuttan meladeni perpecehan mereka. Namun, tidak mungkin juga Ditto mengadukan masalah terkait hubungannya dengan Nadia pada Babe, yang ada Ditto bisa jadi bahan utama Geprek Babe.
"Sori, Rin. Gue terlalu emosi kalau ada yang ingetin masalah tentang Ditto, rasanya—"
"It's okay, Za. Gue yang salah, ucapan lo bener, kok. Kita bermasalah sama anaknya, bukan sama ortunya."
Seolah paham lanjutan ucapan Dzahir, Rini memotong cepat kalimat yang hendak terlontar. Dia tahu apa yang mengganggu Dzahir selama ini. Hubungan Ditto dan Nadia belum bisa Dzahir terima dengan lapang dada. Hatinya masih sama, mencoba merelakan Nadia. Namun, mustahil bisa ikhlas begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
A l i v e
Teen Fiction"Mental tiap orang itu nggak sama, jangan lo samain kayak mental lo, Zam. Mereka yang terlihat baik-baik saja di hadapan lo, justru mereka yang paling gencar minta sama Tuhan buat dipulihkan mentalnya. Dan, mereka yang lo hina belum tentu lemah kaya...