Manusia identik dengan masa lalu. Susah dan senang. Tawa dan tangis. Berjuang dan menyerah. Bagaimana jika masa lalu itu tidak ada? Akankah hidup akan lebih damai dan tentram karena tidak perlu memikirkan trauma? Terkadang, serangkaian bahagia juga tidak menjamin seseorang baik-baik saja.
A l i v e
"Gue enggak yakin UAB bagus. Asli, Blok Hematologi ini lebih membingungkan ketimbang Anatomi." Rini menyibak rok panjangnya hingga sebatas paha. Risi akan pakaian dan suasana hatinya yang buruk sejak sesi ujian daring, membuatnya berdesis.
"Gue sempet screenshot soal-soalnya. Barangkali lo mau lihat mana aja yang salah, pasti sekelas Rini masih ingat."
Kusor laptop mulai mengarah ke sebuah file bernama "Screenshoot Azzam". Tangannya mulai cekatan membuka gambar demi gambar dalam file yang berbeda. Mulai dari semester satu hingga semester dua. File lain yang bernama Screenshoot Hematologi Dokter Samuel Blok II yang tersimpan dalam file awal menampakkan begitu banyak rekaman video, mulai dari awal dokter pengajar menjelaskan poin, pengenalan mata kuliah, sampai penjelasan rumit telah tertampung dalam satu file khusus.
Rini berdecak kagum. "Lo sengaja rekam penjelasan Dokter Samuel selama daring?"
Dengan semangat Azzam mengangguk dan mengelus kepala yang mulai ditumbuhi rambut halus itu. "Iya, Rin. Ada beberapa pertemuan yang enggak kerekam, waktu itu gue kan bed rest total, jadinya gue suruh Dzahir yang ngerekam. Si Ditto juga rekam sih kayaknya."
"Coba cocokin, deh. Gue tadi nyatet jawaban di sini." Rini menunjuk agenda cokelat minimalis yang ada dalam genggamannya. Beberapa opsi yang dia pilih tersusun rapi sampai nomor tiga puluh enam. Sesekali mengerutkan kening membaca kembali soal-soal, Rini menepuk tangan girang.
"Nah, nomor tiga empat sampai tiga enam nih, gue beneran blank karena waktu nipis banget." Sembari menepuk punggung Dzahir keras, Rini menyengir. "Gue yakin Dzahir udah pro masalah Hematologi dan kawan-kawannya."
"Dia mah pro di segala bidang, Rin," sindir Azzam.
"Coba bacain soalnya," perintah Dzahir dingin. Dia tidak ambil pusing, semua soal yang dia baca secara berulang saat Ujian Akhir Blok membuatnya santai karena hafal jenis soal.
"Ini nomor tiga empat gue bacain soalnya. Lekopenia dapat dijumpai pada kelainan bla-bla-bla, kecuali."
Setelah mendengar soal yang dibacakan Rini, Dzahir berdeham sebentar sembari menyesap mocha float. "Jawabannya D. Myeloproliferatif disease."
Decakan pertama Rini kagum. Karena ternyata, dia menjawab dengan opsi yang sama seperti jawaban Dzahir. "Oke, nomor tiga lima." Berhenti sejenak, Rini menyipitkan mata saat laptop Azzam tersorot sinar matahari. "Pada penetapan kadar Hemoglobin dengan metode Sianmethemoglobin, larutan Drabkin yang dipakai dengan cara ini dapat mengubah zat yang disebut di bawah ini menjadi Sianmethemoglobin, kecuali."
Menjilat bibirnya sendiri, Dzahir berusaha mengingat jawaban miliknya. "C. Sulfhemoglobin. Karena faktor kesalahan kurang lebih dua persen. Gue inget karena Dokter Samuel pernah bagiin jurnal itu, Ringkasan Perbedaan Kadar Hemoglobin Metode Sulfhemoglobin. Kalau enggak salah pake sampel leukosit."
Rini tercengang, bahkan dia lupa pernah mengunduh jurnal itu. Menyengir dan menertawai kebodohannya, dia tidak bisa berhenti memasang wajah cengo ketika Dzahir menggeleng karena aksi random Rini. "Gue salah, gue jawab A."
"Next, Rin," perintah Dzahir.
"Pada aspirasi sumsum tulang, yang menjadi indikasi absolut yaitu, titik-titik, kecuali. Asli, Za. Gue kalau ada kalimat kecuali tuh berasa perang pas ujian, udah otak punyeng ditanya kecuali mulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A l i v e
Teen Fiction"Mental tiap orang itu nggak sama, jangan lo samain kayak mental lo, Zam. Mereka yang terlihat baik-baik saja di hadapan lo, justru mereka yang paling gencar minta sama Tuhan buat dipulihkan mentalnya. Dan, mereka yang lo hina belum tentu lemah kaya...