Bab 2. Bukan Anak Dokter Berni

66 17 13
                                    

Kepada waktu yang tak mau berhenti, apakau kau ingin menyiksa insan satu ini? Berjalan bertelanjang kaki di atas pisau bergigi tajam. Memilih tak bersuara padahal ada harapan tersemat di setiap jengkal napas. Tuhan, mampukah Hamba-Mu yang rapuh ini menjadi benteng atas hidupnya sendiri? Apakah Hamba-Mu yang rapuh ini hanya mampu bergulat dengan dosa? Mengapa dunia yang Kau berikan padaku sangat sulit? Tuhan, izinkan aku kembali ke pangkuan-Mu.

A l i v e

"Aborsi itu bukan tindakan fatal. Memang dari sudut pandang agama aborsi diharamkan karena mematikan makhluk Tuhan yang enggak bersalah, tapi coba lo pahami, jika bayi itu lahir, dan ketika ibunya tidak mau menerima kehadirannya, yang ada si anak yang sengsara."

"Lha, semuanya kan berawal dari orang tua, kenapa si anak yang sengsara, coba? Berani ngelakuin berani tanggung jawab atas perbuatannya, dong."

"Itulah kenapa gue bilang, tanggung jawab memang harus dilakukan oleh orang tua mana aja, Zam. Kita sebagai anak apa mau lahir kalau orang tua aja enggak menerima kehadiran kita?"

"Lo kenapa jadi pendukung kelompok aborsi begini, Za? Eh, sini gue tunjukin pada bagian aspek nilai tentang aborsi, dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok anti aborsi aja bilang kalau aborsi itu kegiatan membunuh, tidak dilegalkan dalam agama dan pelakunya diancam di kehidupan akhirat, lo mah mau jadi dokter apa pembunuh?"

"Kalau meneliti lewat sudut pandang agama jelas aborsi identik dengan pembunuhan, tapi coba lo mikir untuk kasus seperti pemerkosaan, incest, kehamilan tidak diinginkan, dan janin yang punya kelainan genetik, jadi aborsi harus dinilai dari dua sudut pandang, agama dan kebebasan perempuan.

"Perempuan yang mengandung, kita sebagai cowok kadang mau enaknya aja tanpa tahu penderitaan mereka, dan aborsi tidak selalu diidentikkan dengan tindak kriminal, lo harus belajar jauh untuk menilai aborsi secara dalam. Jika si anak berasal dari kasus seperti yang gue sebutkan tadi hidup, mereka bakal menderita di dunia ini, mental mereka bakalan rusak karena susah menerima realita yang serba pahit. Jadi, gue memilih kelompok pro choice. Toh, gue sebagai laki-laki enggak mau menyusahkan pasangan gue dengan menuntut dia supaya hamil, badan dia ya hak dia, bukan hak gue."

Azzam terdiam begitu Dzahir selesai bicara. Semua orang yang berada dalam satu meja menggeleng takjub atas argumen kebebasan yang diutarakan Dzahir. Penilaian, perdebatan, dan aspek-aspek yang tertuang dalam modul menjelaskan pro dan kontra. Ketika semua mata menyoroti ekspresi tenang cowok berhidung mancung itu, membuat salah satu di antara mereka takjub sekaligus merasa tenang. Dzahir mampu membuat Nadia membisu dalam perasaan tenang dan salut. Pemikiran cowok itu memang sangat menawan, pemikiran sederhana tapi bermakna tinggi.

"Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan itu adalah pengganti UU RI Nomor 23 Tahun 1992 yang diberlakukan selama 17 tahun. Dan, menurut Dokter Samsi pemangku mata kuliah Ilmu Etika dan Kedokteran, UU baru tentang kesehatan Nomor 39 Tahun 2009 itu sudah mendekati lunak, yang artinya mendekati sistem pedoman kelompok pro choice atau jalan tengah. Kamu kalau baca jangan setengah-setengah dong, Zam. Dokter Berni kan bilang, kita itu bertindak sebagai kelompok pro, kelompok si Pelita baru yang kontra. Terlepas kamu setuju atau enggak, itu hak kamu, Dzahir hanya mematangkan tanggapan dari Dokter Samsi."

Setelah hening selama tiga menit, Nadia angkat bicara. Dia adalah orang yang sempat menemani Dzahir bertemu dosen mata kuliah Ilmu Etika dan Kedokteran. Banyak aspek lain yang tersaji dalam mata kuliah itu, tapi Dokter Berni, selaku dosen yang mengajar Blok Bioetika dan Humaniora mengambil tema aborsi sebagai topik yang akan dibahas dalam presentasi tatap muka. Dan Azzam, menjadi salah satu mahasiswa yang sempat memperdebatkan tema aborsi, dia menentang keras gerakan pro choice yang dilenggangkan Dokter Berni dan Dzahir.

A l i v eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang