"Terima kasih ya Sha, udah mau nemenin aku beli buku," ucap gadis berkerudung marun berlesung pipi—Nuna.
"Iya sama-sama. Lain kali jangan sungkan kalau kamu perlu bantuanku lagi," sahut gadis berkerudung peach tersebut sambil tersenyum kecil.
"Iya, beruntung banget aku punya sahabat baik kayak kamu. Tapi ... gara-gara aku, kamu jadi pulang kemalaman," rengut Nuna.
"Gak apa-apa kok, santai aja. Lagi pula, kapan lagi kita bisa quality time begini? Kamu 'kan lagi sibuk," tutur Nafisha. Mereka berjalan berdampingan menikmati sapuan angin malam.
"Ya mau gimana lagi? Aku 'kan lagi sibuk-sibuknya persiapan buat drama theater," keluhnya.
Nafisha hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan Nuna.
"Eh, Sha! Aku tuh suka inget waktu kita SMA, kalau udah masuk yang namanya toko buku itu selalu aja lupa waktu," kekeh Nuna.
Nafisha balas tertawa kecil. "Iya, sampe kena teguran penjaga toko. Padahal yang dibeli cuma buku nota kecil."
"Iya. Kita cuma sibuk baca-baca blurb aja. Ah ... aku kangen deh masa-masa itu. Kita bisa menikmati hidup, tanpa beban seperti sekarang ini," desah Nuna.
"Hush! Gak boleh ngomong begitu, gak baik. Seharusnya kita itu bersyukur masih diberi kesempatan dan kenikmatan hidup," tegur Nafisha membuat Nuna tersenyum malu.
"Iya Ustazah, iya ...," cibir Nuna disertai senyuman geli.
Nafisha memutar matanya jengah. "Mulai deh, ngeselinnya."
Mereka terus berbincang menikmati perjalanan malam.
"Eh, kok berasa merinding begini sih," ucap Nuna tiba-tiba. Sontak Nafisha melirik ke arahnya. "Jangan ngomong yang aneh-aneh dong, Na!" tegurnya penuh penekanan.
"Aku gak ngomong yang aneh-aneh, Sha. Mendingan kita putar balik lagi aja, jangan lewat jembatan!" Nuna malah menarik-narik lengan kiri Nafisha.
"Gak ada apa-apa. Kita 'kan memang udah biasa lewat jembatan itu," sanggah Nafisha.
"Ayo dong, Sha ... kita lewat jalan lain!" Gadis itu terus saja merengek dan menarik-narik lengan baju sahabatnya.
"Kamu kenapa, sih? Ada apa?" bingung Nafisha.
"Tuh, 'kan ... ada hantu," cicit Nuna dengan pandangannya lurus ke depan.
"Hantu apaan sih?" Kedua alis Nafisha saling bertautan.
"Itu di tengah jembatan. Ayo, Sha kita putar arah, kita cari jalan lain!"
Nafisha mengikuti arah pandang Nuna. Ia menemukan seorang pria tengah berdiri di tepi jembatan. Kedua tangan pria itu mencengkram sisi pembatas kemudian kaki kanannya naik; menjejak pembatas tersebut.
"Nuna, dia bukan hantu. Dia itu mau loncat!" panik Nafisha seraya berjalan cepat menghampiri pria tersebut.
Tepat sebelum kaki kiri pria itu naik, Nafisha datang. Gadis itu tak sengaja menginjak ujung roknya, membuat ia tersandung; menarik belakang jaket pria itu. Sontak pria itu terjungkal ke belakang bersama dirinya.
"Aaargh, punggung gue," ringis pria tersebut masih dalam posisi terlentang.
Nafisha juga sedikit meringis memegangi lengan kirinya sembari terduduk.
"Lo ngapain, sih?!" bentak pria tersebut seraya mengambil posisi duduk. Sorot matanya tajam menatap Nafisha. Lantas yang ditatap begitu langsung menundukkan pandangannya.
"Heh, lo tuli?" ketus pria itu membuat Nafisha seketika menaikkan pandangannya.
"Saya gak tuli," jawabnya sedikit menaikkan intonasi.
"Sha, ngapain sih?" cicit Nuna seraya membantunya berdiri.
Pria itu juga berdiri menjulang di hadapan Nafisha.
"Lo barusan ngapain? Pake tarik-tarik gue segala." Kali ini suara pria itu tidak terlalu membentak.
"Tadi kamu mau apa? Mau loncat, 'kan?"
Kedua alis pria itu menukik, kemudian tertawa masam. "Memangnya kenapa kalo gue mau loncat dari sini? Lo bukan nyokap gue, bukan adik gue, atau pun saudara gue. Kita gak saling kenal, 'kan?"
Nafisha menghembuskan napas panjang. "Memangnya kenapa kalau kita gak saling kenal? Saya cuma gak mau aja melihat pemandangan seperti tadi. Apa yang kamu lakukan itu salah, dan Allah sangat membencinya," papar Nafisha.
"Gak usah bawa-bawa Tuhan deh, lo. Percuma juga gue jadi orang baik, kalo orang-orang di sekitar gue juga nggak melakukan hal yang sama!" Suaranya penuh dengan penekanan.
"Ya seenggaknya kamu gak boleh menentang takdir Tuhan."
"Ya mungkin takdir gue memang begini. Gue cuma mau mencari ketenangan!"
"Apa kamu kira, setelah bunuh diri kamu akan merasa tenang?" Sorot mata gadis itu kian menajam.
"Sha, udah!" kata Nuna coba menenangkan sahabatnya.
"Memangnya dengan loncat dari sini, kamu yakin akan meninggal? Gimana kalau nggak? Terus kamu cacat seumur hidup?"
"Sha ... udah ayok kita pergi," ajak Nuna yang tak diindahkan.
"Kalau pun meninggal, apa kamu kira urusanmu di dunia itu akan selesai? Nggak! Kamu justru akan membuat semuanya semakin rumit," tegas Nafisha membuat pria itu tertegun seketika.
Gadis itu berusaha menetralkan napasnya yang sedikit bergetar dan memburu.
"Mendingan lo bawa temen lo ini pulang. Berisik dia ngomel-ngomel terus sama gue," celetuk pria itu kepada Nuna.
"Ya udah ayo pergi," ajak Nuna seraya menarik lengan Nafisha.
"Kalau kita pergi, nanti gimana dia loncat beneran?" bisik Nafisha penuh dengan penekanan.
"Gue gak akan loncat, kok. Gak tau besok atau lusa," celetuk pria itu membuat keduanya menoleh.
"Kam—"
"Sha, udah dengar 'kan? Dia gak akan loncat. Mendingan sekarang ayo kita pergi!" Nuna setengah menyeret gadis itu untuk segera pergi dari sana.
"Ta-tapi, Na—"
"Udah, ayok ...!" Nuna semakin menarik tubuh gadis itu sekuat tenaga.
Sedangkan pria itu masih terdiam di tempat memperhatikan kedua gadis tersebut.
"Dasar aneh!" gerutunya. Ia henda berbalik, tetapi tak sengaja menginjak sesuatu.
Pria itu membungkuk mengambil benda yang ia pijak; sebuah name tag.
"Nafisha Zulaikha?" gumamnya sambil mengerutkan kening.
***
Tadinya aku mau pake prolog, tapi gajadi soalnya rada spoiler:V. Jangan lupa vomen+rekomend yaa🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
DAISY (OnGoing)
Teen FictionAku tidak pernah menyangka semuanya akan menjadi serumit ini. Perihal rasa yang mengaku sebagai cinta--seenaknya berlabuh pada dermaga bernama hati. ~Nafisha Zulaikha~ SEQUEL CINTA GURU AGAMA