Gadis berkerudung abu-abu itu tengah mematut diri di depan cermin. Ia tampak membenahkan hijabnya yang terlihat belum rapi.
"Loh, name tag aku ke mana?" gumamnya ketika menyadari jika benda tersebut tidak ada di meja.
"Atau jangan-jangan ketinggalan di baju kemarin?"
Tanpa basa-basi ia berlari ke luar kamar; menuruni anak tangga, menuju halaman belakang.
Setelah Nafisha mulai bersekolah, Reswara memutuskan untuk pindah rumah. Sebuah rumah yang lebih besar dari tempat mereka yang terdahulu.
"Mana sih, kok gak ada?" decaknya ketika tak mendapati benda tersebut pada pakaian yang baru dijemurnya.
"Kamu lagi apa, Sayang?" tanya sang bunda, membuatnya sedikit terhenyak.
"Iiih Bunda ... ngagetin aku aja."
"Loh, Bunda gak ngagetin kamu," sangkal Inda sembari meletakkan ember berisi pakaian-pakaian siap jemur.
"Bunda liat name tag aku gak?"
"Nggak. Mungkin di laci kamarmu, coba cari!"
"Ah iya!" serunya sambil melenggang pergi.
"Dasar, kebiasaan," decak Inda disertai senyuman tipis.
Tidak terasa bertahun-tahun mengurusi Nafisha kecil, sekarang gadis itu sudah mau lulus S1 saja.
"Bunda liat jam tangan Faris, gak?" tanya si bungsu di ambang pintu.
"Bunda gak liat, coba cari di lacimu!"
"Ah, bener!" gumam Faris seraya pergi.
Inda menghembuskan napas panjang. "Kayaknya aku memang udah tua. Anak bungsu aja udah seragam SMP."
Nafisha berdecak ketika tak mendapati benda yang dicarinya di dalam laci. "Kenapa aku bisa lupa, sih?"
"Apa mungkin jatoh di jalan?"
"Mending aku tanya Nuna deh, siapa tau dia bisa bantu mikir."
Nafisha kembali membereskan barang-barangnya yang berserakan ke dalam laci.
Segera ia menyambar tas kemudian berjalan keluar. Bersama dengan itu ponselnya bergetar; sebuah panggilan masuk dari Nuna.
"Kebetulan banget."
Langsung saja ia mengangkat panggilan dari sang sahabat. "Assalamualaikum, Na?"
"Waalaikumsalam. Sha—"
"Kamu liat name tag aku gak? Kemarin pas kita jalan, di baju aku atau di tas, gitu? Soalnya aku cari-cari gak ketemu," cerocos Nafisha memotong kalimat Nuna.
"Pelan-pelan ngomongnya, jangan ngebut!"
Nafisha menghembuskan napas kecil. "Kartu nama aku hilang, kamu liat nggak? Kemarin pas waktu kita ke toko buku," ucap Nafisha pelan.
"Aku gak liat. Di dalem tas, kali. Coba cari lagi."
"Iya tadi juga udah, malahan udah dibongkar semuanya."
"Ya ... kalau begitu sih aku gak tau. Coba telusur jalan kemarin aja, siapa tau jatoh."
Nafisha terus berbicara sambil berjalan.
"Udahan dulu ya, Na. Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam. Semoga bisa ketemu ya, Sha!" jawab Nuna kemudian memutus sambungan telepon.
"Bener juga, kayaknya aku harus nelusur jalan kemarin," gumamnya.
"Sayang, sini sarapan dulu!" ajak Inda membuat Nafisha segera menuju meja makan dan bergabung.
"Yah, hari ini aku gak ikut bareng Ayah, ya?" ucap Nafisha membuat sang ayah lantas menoleh ke arahnya.
"Memangnya kamu mau ke mana?"
"Aku mau nyari name tag aku soalnya hilang."
"Begituan doang? Bikin yang baru aja, gak perlu repot," decak Faris langsung mendapat tatapan tajam dari sang kakak.
"Begitu tuh, kalo manusia gak berusaha!" balas Nafisha sedikit geram.
"Lagian bunda sama ayah juga yang bilang kalau kita harus hemat!" imbuhnya.
"O," jawab Faris terdengar begitu mengesalkan bagi Nafisha.
"Kalian ini, pagi-pagi jangan berantem dong ah!" lerai Ares.
Sontak keduanya kembali menyelesaikan sarapan dengan hening.
***
"Duh ... ke mana, sih?" desah Nafisha kala masih belum menemukan benda itu.
"Masa iya jatoh ke sungai sih?" gumamnya seraya mengintip ke arah bawah jembatan.
"Selamat pagi menjelang siang?" teguran itu sontak membuatnya terhenyak dan hampir saja melompat.
"Astagfirullahalazim," kagetnya seraya mengusap dada naik turun.
Namun, seketika raut wajahnya menggambarkan rasa syukur dan tenang. Dia masih mengingat jelas wajah pria itu walau pun semalam minim penerangan.
"Eh, ngapain lagi kamu di sini?" tanya Nafisha ketika baru menyadari situasi.
"Tenang aja, gue gak ada niatan buat loncat dari sini lagi, kok."
Nafisha sedikit gelagapan atas perkataan pria itu. Pertanyaan yang merujuk pada sebuah pernyataan--penuduhan lebih tepatnya.
"Lo cari ini, 'kan?" Pria itu balik bertanya sembari menyodorkan name tag milik Nafisha.
"I-iya," ucap Nafisha seraya menerima benda tersebut penuh dengan senyuman.
"Alhamdulillah .... Ketemu di mana?"
"Di sini, semalam. Kayaknya pas lo narik gue," ucap pria tersebut dengan sebelah alisnya menukik jahil.
"Terima kasih," lirih Nafisha sambil menundukkan pandangannya.
"Zian!" potong pria tersebut membuat Nafisha kembali mendongkak.
Tanpa ucapan selamat tinggal Zian melangkah pergi.
"Eh, kamu mau ke mana?" teriak Nafisha membuat pria bernama Zian tersebut menoleh.
"Hari ini gue lagi males bunuh diri," jawab Zian.
"M-maksud saya ...." Gadis itu membisu.
"Gak tau besok atau lusa," kekeh Zian membuat Nafisha sedikit membolakan matanya.
Pria itu melanjutkan jalan dengan senyuman geli yang senantiasa menghiasi wajahnya.
Di sisi lain, wajah Nafisha sudah terlihat merah merona.
"Emang ini mulut gak bisa dikontrol!" rutuknya seraya memukul-mukul pelan bibirnya.
Nafisha menghembuskan napas berat nan panjang, yang dirasanya sangat lega.
"Ya ampun hampir kesiangan!" cicitnya ketika baru saja mengecek ponsel.
Segera ia memesan ojek online yang tidak berselang lama datang.
"Bang, kebut ya!" titahnya ketika sudah naik.
"Jangan, bahaya!"
"Intinya harus cepat dan selamat!"
"Siap Neng, siap!"
Nafisha tidak bisa mengikuti mata kuliah jika dirinya terlambat lebih dari lima menit. Bermasalah dengan dosen killer tentu saja adalah hal yang sangat dihindari mahasiswa seantero raya.
***
Bantu tandai typo juga ya, apalagi yg dirasa catlog. Thanks🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
DAISY (OnGoing)
Teen FictionAku tidak pernah menyangka semuanya akan menjadi serumit ini. Perihal rasa yang mengaku sebagai cinta--seenaknya berlabuh pada dermaga bernama hati. ~Nafisha Zulaikha~ SEQUEL CINTA GURU AGAMA