4. Ada Apa Dengan Bunda?

136 12 1
                                    

"Kak Sha, buruan! Udah mau telat, nih!" teriak Faris yang tengah berdiri di teras depan.

"Iya sebentar, sabar!" balas Nafisha yang tak kalah berteriak.

"Kalian ini, berisik sekali," tegur sang ayah.

"Ya habisnya kakak lama banget. Mau ke pengajian atau kondangan, sih?" gerutu Faris yang sudah merasa tak sabar.

"Keduanya," jawab Nafisha yang kini menghampiri mereka.

"Jangan cantik-cantik, nanti digoda preman baru tau rasa," celetuk Faris membuat sang kakak mendelik tajam ke arahnya.

"Astagfirullah, cantik-cantik gak boleh galak!"

"Udah jangan berantem terus dong. Ini kita mau kapan berangkatnya?" tegur Inda membuat Faris dan Nafisha lantas terdiam.

Setelah mengunci pintu, mereka berjalan beriringan menuju ke tempat pengajian.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai karena tempatnya tak jauh dari rumah mereka. Pengajian di sebuah acara pernikahan.

“Assalamualaikum?” salam pria dengan tampilan khas; kemeja koko, sarung, dan peci hitam yang membuatnya terkesan kalem sekaligus berwibawa.

"Waalaikumsalam," jawab semuanya serempak.

"Belum dimulai acaranya?" tanya Reswara.

"Belum. Mungkin sebentar lagi," sahut pria tersebut.

Suara beratnya terdengar lembut. Wanita mana yang tidak akan jatuh hati akan sosoknya?

"Mas Gi, udah dari tadi?" tanya Faris.

Pria bernama Giri tersebut mengalihkan pandang. "Iya. Mas nyariin kamu, tadi. Kamu bagian solawat, 'kan?"

"Iya. Tadi Faris udah mau berangkat, tapi Kak Sha tuh lama banget dandannya," gerutu Faris seraya mendelik ke arah Nafisha yang balas menatap tajam.

Lantas pandangan Giri seketika beralih kepada Nafisha yang justru memilih untuk tidak menaikkan pandangannya.

"Gak apa-apa, kok. Tapi sebaiknya kita cepat ke belakang panggung aja, biar ngumpul sama yang lain," ajak Giri.

"Iya."

Setelah mengucap salam, Giri dan Faris melenggang pergi. Perlahan pandangan Nafisha terangkat memperhatikan punggung pria itu yang kian menjauh.

"Kalau begitu Ayah juga pergi duluan," ucap Reswara kemudian pergi bergabung bersama bapak-bapak lainnya.

"Giri itu anaknya baik ..., saleh," ucap sang bunda membuat Nafisha mendesah kecil.

"Baik dan saleh itu terlalu luas untuk menggambarkan karakter seseorang, Bun," sahut Nafisha membuat Inda seketika melirik ke arahnya.

"Dasar kamu ini," desah Inda seraya berjalan mendahului Nafisha.

Nafisha akui jika dia memang kagum dengan sosok Giri. Namun, kagum bukan berarti cinta, 'kan?

Dia sudah merasa jengah dengan perkataan bundanya yang selalu saja terkesan berlebihan memuji Giri. Apa mungkin kalau bunda sebenarnya mau ....

"Nggak mungkin!" Buru-buru ia menyangkal pikiran anehnya mengenai sang bunda.

"Kalau pun aku nantinya dinikahi Mas Giri ... itu karena aku yang memutuskan. Aku gak mau karena perjodohan!" gumamnya masih terdiam di tempat.

"Aduh, kenapa sih pikiranku ini?"

Memikirkan hal tersebut membuat wajahnya sedikit memanas, bahkan tangannya yang kini menempel ke pipi terasa begitu dingin.

Beberapa kali dia menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran itu.

Setelah membuang napas kasar, Nafisha langsung mencari tempat duduk di dekat bundanya.

Acara pun dimulai dengan doa, kemudian penampilan grup terbangan yang di mana Faris turut bergabung di sana, sebagai orang yang bersalawat.

Melihat hal tersebut, Inda menyunggingkan senyuman. Dia merasa sangat bersyukur karena putra putrinya tumbuh menjadi sosok yang saleh dan saleha.

***

Tepat pukul 23.30 acara pun selesai. Hal yang lumrah ketika pengajian malam, terlebih pada acara nikahan. Nafisha yang merasa matanya sudah berat pun langsung mengajak pulang.

"Ayah masih ada urusan sama Pak RW, kalian duluan saja," titah Reswara.

"Tenang semuanya tenang, di sini ada Panglima Faris!" seru Faris seraya menepuk dadanya percaya diri.

"Liat karung malam-malam juga kamu ngiranya pokong," celetuk Nafisha membuat sang adik merengut kesal.

"Ya udah gak apa-apa, Mas. Aku bisa jagain mereka, kok. Lagian 'kan rame," sela Inda.

"Salim dulu sama ayah!" titahnya kemudian.

"Assalamualaikum?" Nafisha dan Faris silih berganti menyalami Reswara.

"Waalaikumsalam, hati-hati di jalannya!" pesan Reswara ketika mereka mulai berjalan menjauh.

Di perjalanan, tak hentinya Faris mengoceh ini dan itu. Bahkan ia juga menyinggung tentang Giri.

"Sebenernya Mas Gi itu suka sama Kak Nafisha. Cuma ... sayang aja Kakak terlalu galak. Ya, 'kan, Bun?"

"Adududuh, sakit!" ringisnya ketika Nafisha menarik pucuk telinganya ke atas.

"Sekali lagi ngomong apa?" geram Nafisha.

"Ampun, ampun!"

Setelah mendengar itu, barulah Nafisha melepaskan jeweran mautnya.

"Tuh, kan ... sudah terbukti, akurat seratus persen," umpat Faris yang masih bisa terdengar.

Sebelum mendapat jeweran sesi dua, anak itu buru-buru mencari tempat perlindungan di balik sang bunda.

"Sha ... udah!" tegur Inda membuat Nafisha sedikit merengut kesal.

"Bun, Faris mau adek dong!"

"Adek? Jaga diri sendiri aja repot," cibir Nafisha.

"Apa sih? Orang Faris ngomong sama bunda, bukan Kakak!"

"Bun, nanti adeknya laki-laki ya, kembar," kekehnya berhasil membuat mata Nafisha terbelalak.

"Minta adek buat apa? Kembar pula," desah Inda merasa aneh dengan permintaan si bungsu.

"Biar Kak Nafisha tambah pusing." Setelah mengatakan itu Faris malah tertawa puas.

"Ya nanti Kakak kerja ke luar kota, jadi kamu yang urus. Gampang, 'kan?" balas Nafisha tak mau kalah.

"Nih, denger ya .... Sekarang Bunda harusnya punya cucu, bukan anak lagi," kekehnya.

"Nah bener tuh, makanya nikah sana!" titah Faris pada sang kakak.

"Bunda ... apa-apaan, sih? Kuliah aja masih belum lulus," gerutu Nafisha dengan raut wajahnya ditekuk.

"Makanya jadi perempuan jangan judes-judes amat," timpal Faris membuat Nafisha semakin kesal.

"Aku duluan, assalamualaikum?!" ucapnya penuh dengan penekanan.

Sebelum mendengar jawaban, Nafisha sudah berjalan terlebih dahulu.

"Waalaikumsalam," jawab Inda dan Faris bersamaan.

"Yah ... dia ngambek." Faris menatap punggung kakaknya yang semakin menjauh.

Dia tidak pernah mengira jika sang kakak bisa marah karena hal seperti itu.

Lain halnya dengan Inda yang hanya bisa mendesah panjang. Andai Nafisha tahu, bagaimana awal mula ayah dan bundanya. Tentang Inda yang harus menikah di usia muda, bahkan ketika masih duduk di bangku SMA. Terlebih lagi ... dengan seorang guru agama di sekolahnya.

***
Vote dan bantu tandai typo ya, terima kasiihhh🙏😍

DAISY (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang