"Dari mana aja lo? Berantem lagi?"
Kedatangan Zian disambut dengan sapaan yang terkesan tidak ramah dari sang kakak. Bukan tanpa alasan Haist bertanya demikian, itu karena dia melihat lebaman hampir di seluruh wajah Zian.
"Bukan urusan lo!" balas Zian sembari berjalan melewati Haist yang masih berdiri di teras rumah.
Pria itu merasa geram atas tindakan adiknya sehingga tampak mengeratkan kepalan tangan.
Bugh!
Suara pukulan tiba-tiba terdengar, membuat Haist membalik dengan raut wajah terkejut.
"Anak sialan!" geram sang ayah sambil menatap Zian yang kini tersungkur di dekat kakinya.
Setelah puas melampiaskan amarah, pria paruh baya tersebut lantas pergi. Dia bahkan melewati Haist begitu saja.
Sepeninggalan ayahnya, Haist meraih lengan Zian untuk bangkit dan sedikit kasar membawanya masuk--duduk di sofa ruang tamu.
"Obati dia!" ucapnya pada seorang pelayan yang ada di sana.
"Baik, Den."
Tidak ada percakapan lagi di antara keduanya. Zian tampak memegangi rahangnya yang sedikit ngilu. Luka kemarin malam saja masih terasa belum membaik, sudah ditambah lagi dengan yang baru.
Sekilas Haist menatap sang adik, kemudian dia memilih untuk segera pergi menyusul Reynold ke kantor.
Di sepanjang perjalanan Haist terlihat kurang fokus. Pikirannya terlalu rumit bercabang kesana-kemari.
Tiba-tiba saja dia menghentikan mobil secara mendadak, sehingga terdengar bunyi ban berdecit.
Tatapannya lurus dengan dada yang terlihat naik turun, berusaha menetralkan napas.
"Sial!" umpatnya. Hampir saja Haist menabrak seekor kucing yang melintas. Namun, untunglah tidak sampai kejadian.
Setelah memastikan semuanya aman, barulah dia melajukan kembali mobilnya.
Tidak perlu waktu lama, Haist sampai di basemant kantor papanya. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor.
Pria itu sedikit merapikan penampilannya kemudian melenggang masuk ke dalam lift.
Ting!
Haist melangkah keluar tepat setelah pintu lift terbuka. Kakinya mengayun pelan, menciptakan derap kaki beraturan pada lorong sepi tersebut.
Dia membuka pintu ruang kerjanya kemudian terdiam mematung.
Tampak seorang wanita yang tengah duduk di sofa kini berdiri. Pandangannya tak lepas dari netra Haist.
"Hai?" sapa wanita tersebut sambil berjalan perlahan ke arah Haist.
"Kenapa kamu bisa di sini?" tanya pria itu terkesan datar. Bahkan tersirat pada raut wajahnya, bahwa Haist sama sekali tidak suka dengan kehadiran wanita itu.
"Aku kangen banget sama kamu ...," ucapnya manja seraya mengalungkan kedua lengan di leher Haist.
Wanita itu berjinjit hendak mendaratkan kecupan hangat, tetapi Haist segera mendorong tubuhnya perlahan.
"Kenapa?" raut wajahnya tampak kecewa.
"Susan, sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Aku sibuk!"
Wanita bernama Susan itu lantas mengerucutkan bibirnya kesal. Merasa tak gentar, dia justru kembali meraih kedua sisi wajah Haist agar kembali menatapnya.
"Aku udah putus sama Andrew, dan sekarang aku mau kita mulai lagi semuanya dari awal. Aku mau kita seperti dulu lagi," bujuk Susan tak membuat raut wajah pria itu berubah sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAISY (OnGoing)
Fiksi RemajaAku tidak pernah menyangka semuanya akan menjadi serumit ini. Perihal rasa yang mengaku sebagai cinta--seenaknya berlabuh pada dermaga bernama hati. ~Nafisha Zulaikha~ SEQUEL CINTA GURU AGAMA