14. Sepucuk Maaf

9 4 0
                                    

"Sha, hari ini ada kelas lagi, gak?" tanya Nuna seraya mengipasi diri dengan buku catatan.

Keduanya tengah duduk di bangku taman kampus, yang berada di bawah pohon klengkeng. Membuat suasana cukup teduh.

"Harusnya ada, tapi dosennya ada acara keluarga," jawab Nafisha seadanya.

"Jadi?" Kedua alis Nuna saling bertautan.

"Ya ... jamkos."

"Kalau gak ada kelas lagi mending kita pergi ke mall," ajak Nuna membuat mata Nafisha membeliak.

"Astagfirullah Nuna! Ini 'kan bulan puasa," ucap Nafisha dengan nada yang sedikit meninggi.

"Apa? Memangnya aku ngajak jajan? Aku cuma ngajak jalan. Ini 'kan panas, kita ngadem aja." Pada kalimat terakhirnya, gadis itu tertawa kecil.

Nafisha mengembuskan napas lega kemudian tertawa kecil. "Aku kira ngajak jajan es krim."

"Ya Allah, Sha! Itu malah pikiranmu yang gak beres, bukan akunya."

Keduanya kembali tertawa atas kesalahpahaman tersebut. Mungkin memang, Nafisha saja yang terlalu cepat mengambil kesimpulan.

"Assalamualaikum?"

Suara yang tak asing itu membuat tawa Nafisha terhenti, pula dengan senyum Nuna yang memudar.

"Salamnya kok gak dijawab?"

Nuna menoleh ke belakang, sedangkan Nafisha hanya terdiam. Dia sudah tahu suara siapa itu. Siapa lagi kalau bukan Zian?

"Waalaikumsalam," sahut keduanya serempak.

"Nuna, titip ini buat teman lo," kata Zian seraya menyerahkan sebuah box kecil.

Alis Nuna mengerut, dengan bibir yang turut naik sebelah. "Hah? Temanku? Siapa?"

"Itu loh, yang namanya Nafisha. Dia gak mau ngomong sama gue soalnya. Dari beberapa hari yang lalu, lalu, lalu, dan lalunya lagi."

"Heh? Ini orangnya ada di sini, kenapa gak dikasih langsung aja? Aku bukan kurir ya Massss!" Sengaja Nuna menekan kata tersebut.

Zian mendesah panjang. "Udah dibilang dianya gak mau ngomong. Tinggal kasih aja apa susahnya?"

Nuna mengerling jengah. Lain hanlnya dengan Nafisha yang seketika cosplay menjadi hantu. Antara ada dan tiada.

"Ya kalau kurir mah 'kan dibayar, kalau ak--"

"Ini cukup?" Selembar uang seratus ribu membuat manik mata Nuna berbinar.

"Ini ... halal 'kan, ya?" gumamnya seraya berdeham.

"Halal. Ini ongkir, bukan suap!" tegas Zian membuat Nuna kembali tersenyum. Hingga tanpa lama-lama dia mengambil titipan Zian beserta ongkirnya.

"Makasih. Assalamualaikum?" pungkas Zian seraya melenggang pergi.

"Waalaikumsalam."

Pria itu tidak banyak bicara seperti biasanya. Apa mungkin Nafisha sudah keterlaluan atas perilakunya?

"Alhamdulillah, rezeki anak solehaaa," cicit Nuna sembari melandingkan uang seratus ribu ke dalam sakunya.

"Astagfirullah Na .... Kenapa mau maunya disuruh dia? Pake ongkir-ongkiran segala!" desah Nafisha.

"Namanya juga rezeki, Sha. Gak baik kalau gak diterima," kilah Nuna.

"Nih," imbuhnya sembari menyodorkan kotak titipan Zian. Wajah itu seperti tidak memiliki beban sama sekali.

Dengan sedikit kesal Nafisha akhirnya mau mengambil kotak tersebut dari tangan sahabatnya.

Nuna hanya melemparkan senyuman senang terhadap Nafisha. Itu mungkin karena ongkir seratus ribu, tanpa harus dipotong uang bensin atau cape-capean mencari alamat.

DAISY (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang