Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa sudah sampai malam Raffa bekerja. Teman-temannya sudah lebih dulu pulang saat jam kerja telah selesai. Suasana di dalam rumah sakit perlahan sepi, waktu kunjungan juga sudah selesai. Shift sudah berganti, mereka yang bekerja sejak pagi sudah pulang untuk beristirahat di rumah masing-masing.
Akan tetapi tidak dengan Raffa. Saat itu jam menunjukkan pukul 20.30, Raffa masih duduk di luar rumah sakit bersama Pak Rahmat si supir ambulan. Masing-masing dari mereka memegang gelas plastik berisi kopi yang menemani malam mereka. Angin bertiup cukup dingin setelah sore hari diguyur hujan, sesekali petir pun masih terdengar menyambar di kejauhan. Jalanan masih basah, bahkan beberapa ada genangan air.
“Raffa, orang tua gimana kabarnya?” tanya Pak Rahmat sambil menyalakan rokoknya. Pria berkumis dan sedikit gemuk itu melirik ke sosok laki-laki di sampingnya.
“Sehat, baik-baik aja kok. Terakhir kali saya pulang mereka biasa aja,” jawab Raffa.
Pak Rahmat mengangguk. “Kamu gak kesepian? Cari pacar atau istri gitu, udah waktunya kali,” tambahnya sambil menghembuskan asap rokok dari dalam mulutnya. Membuat asap tipis itu menari-nari di udara.
“Gimana ya? Saya gak suka perempuan masalahnya,” kata Raffa yang kemudian menyeruput kopinya yang masih panas.
Pak Rahmat tertawa beberapa saat mendengar perkataan Raffa itu. “Iya, iya. Kamu sukanya duit ya, kalo gitu nikah aja sama duit,” ejeknya. “Punya duit juga buat apa kalau gak punya kebahagiaan, Raf? Duit gak ada artinya kalo kita kesepian.” Pak Rahmat memberi nasihat.
“Siapa bilang saya gak bahagia?” Sambil tersenyum Raffa menoleh ke arah lawan bicaranya dengan tatapan heran. Pak Rahmat lagi-lagi menanggapinya dengan suara tawanya yang khas layaknya bapak-bapak pada umumnya. “Tapi mayat yang tadi pagi itu cantik juga, Pak.” Tanpa sadar mulut Raffa bergumam pelan.
Pak Rahmat sempat mendengar suara Raffa, tapi tidak jelas apa yang Raffa ucapkan. “Hah? Kenapa, Raf?” tanya Pak Rahmat.
“Apanya? Orang saya ngomong sendiri kok,” jawab Raffa.
“Kamu ini.” Pak Rahmat lalu menepuk pelan bahu pemuda di dekatnya itu. “Kalo ngomong sendiri itu dalem hati aja, jangan bikin orang penasaran,” katanya.
Raffa hanya menanggapinya dengan senyum kecil. Selama hampir satu jam itu, mereka berdua duduk bersama. Sesekali ada orang yang melewati mereka dan saling bertukar sapa. Raffa sendiri selama hampir satu jam itu mendengar semua cerita-cerita pengalaman Pak Rahmat. Mulai dari bagaimana ia berkeluarga sampai mengurus anak sampai kini duduk di bangku SMA.
Sampai akhirnya kopi mereka habis, begitu juga rokok Pak Rahmat yang sudah habis dua batang. Karena tidak ada lagi yang bisa jadi bahan obrolan, keduanya memutuskan untuk bubar. Pak Rahmat memutuskan untuk pulang, ia berjalan ke pos untuk mengambil barang-barangnya. Meninggalkan Raffa seorang diri yang duduk di atas trotoar rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Necrolust [18+] (TAMAT)
Horor(18+) Adult Content Kisah ini menceritakan tentang kehidupan Raffael, seorang pemuda pengidap Nekrofilia. Membuatnya melakukan banyak hal tidak manusiawi dan keji. FYI: Nekrofilia adalah kelainan yang membuat penginapnya memiliki ketertarikan seksu...