Twenty Eight = Puncaknya

4 1 0
                                    

Informasi itu cepat menyebar. Reza sudah mengirim foto botol obat milik Keysa ke Vannya. Dan otomatis pula Vannya memberi tahu Diva. One more and again, otomatis Diva memberi tahu Al tentang itu.

Reza menscroll aplikasi pencariannya. Mencari obat yang mirip dengan obat Keysa. Semoga saja, itu hanya obat biasa. Sekedar paracetamol atau ibuprofen. Semoga.

Pesan masuk mengalihkan perhatiannya. Ia membuka pesan itu.

Vannya
Za. Itu obat penghilang rasa sakit.

Reza melebarkan matanya.

Reza
Beneran lo? Ngga salah info?
Siapa tau mirip doang.

Setelah mengirim balasan itu, Reza beralih kembali ke aplikasi pencariannya.

Obat penghilang rasa sakit.

"No!"

Reza kehilangan kendali tangannya. Handphone itu jatuh.

Reza menolak. Tidak mungkin Keysa mengonsumsi obat itu.

Tapi itu bertabrakan. Wajah Keysa perlahan muncul dipikirannya. Wajah ceria itu. Candaan itu. That's all lie.

Keysa. Temannya itu berbohong padanya. Bukan hanya padanya. Tapi pada semua orang.

Walau Reza berharap itu tidak benar. Harapan itu hanya obat biasa, atau itu bukan obat milik Keysa.

...

Ternyata rapat guru kemarin membahas ujian. Ujian yang tinggal dihitung beberapa minggu lagi.

Dan waktu yang singkat itu menjadi semakin singkat. Guru-guru menjadi disiplin. Tidak boleh ada yang telat pelajaran, barang semenit pun.

Seperti hari ini. Hari yang melelahkan. Pak Galuh sudah berdiri tegap di tengah lapangan. Memimpin barisan anak didiknya.

"Sekarang main basket. Di ujian praktek nanti, akan ada penilaian basket. Jadi, main semaksimal mungkin dan usahakan jangan membuat kesalahan." Pak Galuh memperhatikan satu persatu anak didiknya. Tangannya bersidekap. Aura tegasnya sangat terlihat.

"Mengerti?" tanya Pak Galuh.

"Mengerti." Sontak sekumpulan siswa itu menjawab bersamaan.

Guru laki-laki itu menghela nafas. "Mana semangatnya? Mengerti?!"

"Mengerti, Pak!"

"Bagus. Sekarang bagi menjadi empat tim. Kita pemanasan dengan teknik dasarnya dulu."

Sudah tigapuluh menit kiranya siswa XII IPA 4 di lapangan. Matahari terik meningkatkan suhu tubuh mereka.

Keysa menghembuskan nafasnya panjang. Ia sudah kelelahan. Biasanya guru olahraga itu memberikan kelonggaran waktu untuk istirahat setidaknya sepuluh menit. Tapi sampai sekarang, sepertinya guru itu tak ada niatan. Guru itu masih mengawasi tim 2.

"Key. Itu tinggal giliran lo." Suara Leo menginterupsi.

Keysa mengerjap. Bola basket menggelinding kearahnya. Ia mengambil bola basket itu.

Berusaha tidak memedulikan tubuhnya yang sudah lelah.

...

Keysa menyeka keringatnya. Akhirnya pelajaran olahraga sudah selesai. Dan untungnya, ia bisa mengikuti sampai selesai.

"Ganti baju yuk, Key."

Keysa menoleh. Perempuan di sampingnya terlihat sedang mengambil baju seragamnya. Keysa melirik jam dinding kelasnya sebentar. Benar. Limabelas menit lagi bel pelajaran selanjutnya berbunyi.

Digrees (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang