Thirty Five

5 1 0
                                    

Ruang anggrek nomor dua. Terhitung sudah delapan jam. Namun, Keysa belum juga membuka matanya.

Hanya Rasya yang menunggu di ruangan itu.

Dimas pulang. Biaya administrasi harus segera diurus. Ia butuh uang. Dan bekerja jalan keluarnya.

Azzam pulang. Entah untuk apa.

Di depan ruangan itu, Vannya dan Diva duduk diam. Mereka lelah sebenarnya. Namun, keduanya bersikukuh tetap disana. Tak mau pulang.

Reza dan Al? Mereka seakan sedang berpatroli mengelilingi kota. Mencari pendonor itu.

Vannya dan Diva ikut menolong. Tapi via handphone. Browsing belasan laman rumah sakit, berharap ada setidaknya satu tempat yang mempunyai apa yang mereka cari.

Dering handphone membuat Vannya menghentikan pencariannya.

Reza.

"Assalamualaikum, Za. Udah ketemu?"

"Waalaikumsalam. Belum, Van. Tapi gue mau lanjut nyari lagi ini. Tadi dapet info ada satu tempat yang kemungkinan ada."

"Bener?"

"Doain aja. Gue cuma mau ngabarin itu. Dan kayanya gue sama Al bakal sampe malem."

"Iya, ati-ati kalian."

"Hm. Lo sama Diva juga jangan lupa makan. Belum, 'kan?"

Iya. Vannya bahkan melupakan hal itu. "Iya."

"Harus makan. Jangan cuma ngomong 'iya' tapi ngga dilakuin."

"Iyaa, Za."

"Lo masih di rumah sakit?"

"Masih. Di depan ruangan Keysa. Ini Diva tidur di sebelah gue,"

"Pulang."

"Apaan sih, Za?"

"Pulang dulu, Van. Mandi, istirahat."

"Engga. Gue mau disini aja. Assalamualaikum,"

Sambungan itu diputuskan Vannya sepihak. Kalau tidak, nanti omelan Reza bisa semakin panjang. Dan Vannya terlalu lelah untuk mendengarnya. Vannya menyimpan handphonenya kembali. Matanya melirik Diva yang tertidur bersender ke kursi.

Masa harus gue bangunin?

Vannya menggeleng. Jangan. Diva pasti lelah. Bahkan bisa tidur di kursi seperti ini --yang pasti tidak nyaman.

Vannya menyamankan posisi duduknya. Tubuhnya lelah. Sudah hampir tujuh jam mungkin ia di rumah sakit. Ikut menutup matanya, berusaha untuk tidur barang hanya beberapa menit.

...

Reza menghela nafas saat melihat sambungan telfon dengan Vannya sudah terputus. Ia hanya berharap, semoga saja Vannya menuruti ucapannya.

Reza melirik Al sebentar. Temannya itu fokus menyetir mobil. Mereka mencari donor hati itu dengan mobil milik Rasya.

Sudah malam pasti udara semakin dingin.

Drrt...Drtt...

"Siapa, Za?" tanya Al mendengar dering telfon.

Reza mengecek handphonenya. "Bukan handphone gue yang bunyi. Punya lo kali," balasnya.

Al mengecek saku celananya. Mengambil benda pipih berbentuk persegi. Benar. Handphonenya yang berbunyi. Ia melempar ponsel itu ke Reza. "Angkat. Gue lagi nyetir."

Digrees (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang