Fourty One

3 0 0
                                    

Hari Senin, jam enam lebih tujuh menit.

Keysa masih memakai baju tidur motif strawberry. Pipinya lumayan bengkak tanda ia baru bangun tidur. Bahkan rambutnya hanya ia ikat asal.

Dengan setengah sadar, Keysa memperhatikan Rasya sarapan dengan tangan yang sibuk memakai dasi.

Biasanya Keysa juga seperti adiknya.

Bangun pagi-pagi, mandi lalu sarapan sambil sibuk memakai dasi.

Kegiatan itu sudah tak Keysa alami lagi.

"Ngga usah lihatin gue. Cuci muka aja sana."

"Dih. Kepedean." Keysa berdiri. Ia mengambil gelas, menuangkan air putih ke benda bening itu. Meneguknya.

Rasya sudah menyelesaikan sarapannya. Ia beralih mengambil jaket yang tersampir di kursi, memakainya.

Melihat jaket yang adiknya kenakan, membuat Keysa mengernyit. Sepertinya ia pernah melihat motif itu.

Pupil matanya melebar menyadari sesuatu. "Lo beli jaket yang sama kaya punya gue?" tanya Keysa.

Rasya menggeleng. "Beda. Punya gue warna biru."

Keysa berdecak. "Masa? Motifnya mirip sama jaket gue."

"Iya. Gue beli jaket dua. Biru sama ungu," balas Rasya. Tangannya sibuk mengikat tali sepatu.

Keysa mendengus. "Pantesan. Gue kenal sama motifnya."

Rasya menghadap kakaknya. "Kalo beli dua dapet diskon." Ia mengambil tasnya. "Gue berangkat dulu," lanjutnya.

"Hm." Keysa hanya berdeham. Tangannya menarik toples berisi kue yang semalam ia makan. Biasanya sudah sarapan, tapi ini baru bangun. Perutnya sudah minta diisi.

Hening.

Hanya suara kunyahan berpadu detak jam yang berbunyi.

Keysa melirik jam dinding sebentar.

Baru limabelas menit ia duduk disana.

Tuh kan... baru limabelas menit saja Keysa sudah merasa bosan. Bagaimana jika kesehariannya seperti ini? Membayangkannya saja Keysa sudah muak.

Suara langkah kaki membuat Keysa menoleh. Ayahnya keluar dari kamar.

"Udah bangun kamu, Key?" Dimas meletakkan tas kantornya ke atas meja. Duduk di samping Keysa.

Keysa mengangguk. "Iya. Ayah kerja?"

"Iya," balas Dimas tanpa melihat lawan bicaranya. Matanya tertuju pada nasi yang ia ambil.

Keysa mengangguk paham. Soal kelanjutan hidupnya, apa ia perlu membicarakan itu dengan ayahnya? Harusnya iya. Tapi melihat Dimas yang sudah bekerja keras membiayai kehidupannya membuat Keysa ragu.

"Kamu mau ke universitas mana, Key?"

Kalimat yang ayahnya lontarkan itu, artinya Keysa pasti kuliah? Atau?

"Keysa?"

Keysa tersadar. Ia melihat ayahnya. "Em... be-belum tahu, Yah," balasnya. Jujur ia saja berpikir kalau kemungkinan ia bisa melanjutkan kuliah itu kecil. Kenapa kemungkinannya kecil? Ya Keysa sadar dengan biaya kuliah yang tidak bisa dibilang murah. Padahal sekarang kondisi mereka sedang down.

"Ya udah. Kamu cari-cari dulu aja. Nanti kalau udah milih, kasih tahu Ayah," balas Dimas kemudian meneguk air putihnya.

Keysa terdiam sebentar. "Tapi apa Keysa bisa, Yah?" Ia berusaha sebisanya agar tak tertera mengkhawatirkan biaya dan sebagainya. Takut Dimas salah mengerti.

Digrees (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang