14. Pacar Halal

33 6 0
                                    

"Mas refreshing yuk?" ajak Adiva yang saat ini bersandar di dada Azzam.

"Kemana?" tanya Azzam balik seraya menatap Adiva sekilas lalu kembali menonton berita di televisi. Jemari Azzam juga masih tetap sibuk memainkan rambut panjang Adiva yang terurai.

"Ke alon-alon aja yuk?" tawar Adiva lalu mengangkat wajahnya. Menatap wajah tampan Azzam yang masih serius dengan acara televisi yang ditontonnya.

"Ok, tapi kita sholat isya' dulu ya? Nanggung setengah jam lagi udah adzan isya'," balas Azzam sambil menatap Adiva dengan tersenyum. Adiva menganggukkan kepala lalu beranjak dari pelukan Azzam. Menatap suaminya dengan perasaan ragu. Sejujurnya Adiva masih penasaran seberapa serius hubungan antara suaminya dengan Aqila dulu.

Pertemuan dirinya dengan Aqila tadi siang menyisakan rasa janggal di hati Adiva. Apalagi saat mengingat usia Azzam saat ini yang sudah lebih dari kepala tiga. Adiva yakin Azzam menikahi dirinya dulu juga karena terpaksa seperti dirinya. Memang semua itu sudah tidak penting lagi sekarang karena mereka telah disatukan oleh ikatan suci pernikahan. Tapi mendapatkan tatapan dingin dan sikap tak acuh Aqila membuat Adiva merasa tak tenang.

"Mas aku boleh nanya sesuatu nggak?" ucap Adiva seraya menatap Azzam dengan sorot tak terbaca.

"Nanya aja, selagi bisa jawab pasti Mas jawab," balas Azzam lalu membawa tubuh Adiva kembali ke dalam pelukannya.

"Mmm... Tadi siang aku berpapasan dengan Bu Aqila di dekat perpustakaan kampus," jujur Adiva yang tetap tak berhasil mengusik keseriusan Azzam pada layar televisi di hadapannya.

"Emang kenapa klo ketemu Bu Aqila?" Azzam melayangkan pertanyaan balik dengan sikap tak acuh.

"Masak aku sapa, Bu Aqila_nya cuek aja. Kayak nggak kenal aku gitu Mas," jujur Adiva yang seketika berhasil membuat Azzam mengubah posisi duduknya. Laki-laki itu mematikan saluran televisi lalu mengurai pelukan.

"Nggak boleh su'udzon Sayang, mungkin Bu Aqila nggak lihat kamu tadi," balas Azzam yang kini tengah memegangi kedua bahu Adiva. Sepasang mata sayu itu menatap ke dalam mata Adiva dengan sorot penuh cinta. Bibir yang selalu berkata lembut dan menenangkan itu juga melukiskan sebuah senyuman tulus yang siapapun melihatnya pasti akan meleleh dibuatnya.

"Nggak lihat gimana sih Mas, wong kita berpapasan deket banget kok. Udah rabun kali itu mata. Sayang cantik-cantik eh udah rabun aja itu mata," seloroh Adiva dengan asal.

"Huss nggak boleh ngomong jelek gitu! Ucapan adalah doa. Jadi kita nggak boleh ngomong yang buruk-buruk Sayang," tegur Azzam sembari meletakkan jari telunjuknya di ujung bibir Adiva.

"Udah nggak usah ngomongin lagi hal-hal yang nggak penting kayak gitu, pokoknya Mas cinta sama kamu Dek. Titik!" tegas Azzam yang langsung membuat bibir Adiva berdecak.

"Abisnya bikin kesel aja. Awas aja klo sampe ketemu lagi nggak bakalan aku sapa lagi," kesal Adiva setelah menyingkirkan jari telunjuk Azzam dari bibirnya.

Tawa Azzam berderai lalu mencubit ujung hidung Adiva dengan gemas. Tak hanya Adiva saja yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Aqila tapi dirinya juga. Bukan karena Azzam masih mencintai perempuan itu tapi karena Azzam khawatir dengan Adiva. Istrinya itu masih terlalu lugu dan polos untuk mengerti semua itu. Betapa memang tak semudah membalikkan telapak tangan untuk melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya. Mungkin Adiva dan Aldebaran hanyalah kisah cinta anak remaja biasa tapi dirinya dan Aqila jauh berbeda. Aqila mengkhianati cintanya di saat Azzam telah memberikan seluruh hatinya.

Lantas Azzam menarik tangan Adiva untuk berdiri. Mengajak istrinya tersebut untuk salat berjamaah lalu berkencan layaknya anak muda. Meskipun Azzam tidak terlalu suka berada di tempat keramaian tapi demi istri kecilnya itu Azzam rela jika harus menuruti semua keinginannya.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang