Beverley didorong keluar dari mobil oleh salah satu pria berpakaian hitam. Tidak ada teriakan lagi yang keluar dari mulutnya. Tidak ada lagi tangisan atau permohonan apa pun. Dia sadar itu hanya perjuangan yang sia-sia.
Dia berdiri, menatap rumah besar yang ada di depan sana. Bukan, itu bukan rumah biasa, mungkin seseorang bisa menyebutnya mansion. Mansion itu terlihat sangat megah dan elegan. Bagian luarnya didominasi oleh warna putih tulang.
Apakah itu kediaman keluarga Oliver? Beverley tidak tahu. Meskipun itu tempat yang dipenuhi dengan kemewahan, dia tidak merasa tertarik. Dia tidak sanggup jika harus menghabiskan hidupnya di sana dengan orang yang sama sekali tidak disukai.
Angin malam menerbangkan rambutnya. Jantungnya berdebar-debar, perasaannya menjadi tidak menentu. Apakah ini masih nyata? Barangkali ini hanya mimpi ketika dia tanpa sengaja tidur di meja kafe.
"Nona, silakan masuk." Suara itu langsung membuyarkan lamunannya. Dia menghela napas panjang. Ternyata ini bukan mimpi. Akhirnya dia melangkah menuju mansion besar itu. Dua pria berpakaian hitam mengikutinya dari belakang.
Pintu masuk itu sudah terbuka. Suasana yang terasa asing langsung menyambutnya. Banyak pelayan sudah berdiri dengan tegap. Jumlahnya ada puluhan orang. Mereka mengenakan seragam yang sama, hitam dan putih. Rambut mereka dicepol dengan rapi.
Salah satu pelayan yang memiliki wajah paling tua datang mendekatinya. Mungkin usianya sudah berada di akhir kepala empat. Pria itu tersenyum tipis lalu berkata, "Nona Holmes, selamat datang di mansion keluarga Oliver."
Lagi-lagi Beverley menghela napas. "Terima kasih. Bisakah ... bisakah aku bertemu dengan Tuan Michael Oliver?"
"Maaf, Tuan Michael Oliver tidak tinggal di mansion ini. Silakan ikut denganku. Aku akan mengantarmu ke kamar," ucap pria itu yang merupakan kepala pelayan di sana.
"Dia tidak tinggal di sini? Kalau begitu ... bagaimana dengan Brent? Brent Oliver?" tanya Beverley dengan sedikit mendesak. Setidaknya dia ingin bertemu dengan pria itu.
"Dia juga tidak ada di sini."
Beverley menjadi bingung. Apa rumah sebesar ini tidak ditinggali oleh siapa pun? Dia melihat ke segala arah. Bangunan megah ini memang sepi. Tidak terdengar suara lain dari orang yang berbicara atau orang yang melakukan aktifitas sesuatu.
"Nona, kau pasti bingung. Mari ikut denganku. Untuk saat ini aku tidak bisa menjelaskan banyak hal," kata kepala pelayan itu lagi.
Akhirnya Beverley mengangguk lemah. Dia menatap barisan para pelayan itu sekilas. Setelah itu dia melangkah mengikuti kepala pelayan. Mungkin hanya pria itu yang bisa diandalkan.
Dia menaiki tangga yang dilapisi marmer putih. Pemandangan di lantai atas tidak kalah bagusnya. Ruangan luas dan pintu-pintu tertutup yang entah mengarah ke mana, langsung memasuki pandangannya.
Kepala pelayan itu membuka salah satu pintu bercat putih. Kamar luas dan besar terpampang di depan mata. Ranjang besar dengan kasur yang empuk sudah dipersiapkan untuknya.
"Nona, kau bisa bermalam di sini. Besok akan ada orang yang menjemputmu untuk pergi ke acara itu."
Acara yang dimaksud adalah acara pernikahannya. Beverley hanya bisa tersenyum kecut. "Baik, terima kasih," ucapnya sambil melangkah memasuki kamar. "Em, kalau boleh tahu siapa namamu?"
"Kau bisa memanggilku Edward," jawab pria itu.
Beverley mengangguk samar. "Kau bisa meninggalkanku sekarang. Aku ingin sendiri," kata Beverley sambil melangkah ke jendela kaca yang mengarah ke halaman belakang.
"Baik. Selamat malam ...." Edward pun menutup pintu.
Beverley menatap jam di dinding. Ini sudah malam, tapi dia belum mengantuk. Dalam kondisi seperti sekarang, siapa yang masih bisa tertidur? Tasnya tidak dibawa, ponselnya pun tidak dibawa, apa yang bisa dia lakukan jika seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Married to the Scandalous Billionaire (21+)
Romance[WARNING! FOR 🔞 ONLY] Setelah bertengkar dengan ibu tirinya, Beverley tiba-tiba mendapatkan undangan pernikahan yang isinya membuat wajahnya memucat. Bukan karena undangan itu datang dari mantan kekasihnya yang menikah dengan wanita lain, melainka...