Prologue

33.4K 993 6
                                    


Warning: Slightly NSFW. Contains some disturbing mentions about family's affair and childbirth, and some suggestive remarks about married life.

***

Kayla selalu berpikir kalau dirinya tidak akan pernah merasa sebahagia saat sepasang bayi kembar itu keluar dari perutnya dan pertama kali menghirup napasnya di dunia. Suara tangisan kedua makhluk kecil itu begitu nyaring, dan bagi Kayla, itu adalah suara paling indah yang pernah didengarnya.

Proses melahirkan itu bukanlah hal yang menyenangkan, malah mungkin delapan jam paling menyakitkan yang pernah dirasakan seumur hidupnya. Semuanya dimulai dengan kram luar biasa yang dirasakannya pada siang suatu hari pada pertengahan musim gugur. Saat itu usia kehamilannya baru mencapai minggu ke-30, dan ia pikir itu hanyalah gejala kram yang memang biasanya terjadi pada wanita hamil beberapa minggu sebelum waktu kelahiran yang sebenarnya.

Tapi lalu kram itu terus berlanjut hingga beberapa jam ke depan. Tadinya ia ingin menelepon Zai, suaminya, untuk memintanya pulang lebih cepat. Tapi lalu ia memutuskan untuk mengurungkan niat tersebut dan menunggu sampai suaminya pulang kerja sore nanti karena ia pikir kram itu bukan apa-apa. Tapi lagi, ternyata ia salah.

Kram itu terus berlanjut, dan setiap saat semakin parah. Saat Zai baru kembali dari kerja, ia langsung memintanya untuk membawanya ke rumah sakit. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, sakit kram tersebut bertambah parah karena air ketubannya ternyata sudah pecah.

Kayla sama sekali tidak dapat memikirkan alasan apapun yang mungkin menyebabkan air ketubannya sudah pecah di usia kehamilannya yang belum penuh tersebut. Ia bahkan nyaris tidak dapat bergerak dengan kram yang tidak henti-hentinya menyerang pinggul dan perutnya.

Sesampainya di rumah sakit, dokter dan para perawat langsung membantunya bersiap menghadapi proses kelahiran. Dokter itu berkata kalau kelahiran prematur adalah hal yang cukup biasa untuk wanita yang mengandung bayi kembar, tapi itu sama sekali tidak mengurangi kengerian yang dirasakan Kayla.

Zai terus berada di sisinya sepanjang waktu sejak ia sampai di rumah sakit, dan menolak untuk meninggalkan sisinya saat seorang perawat datang untuk memeriksa kondisi pembukaan lubang tempat keluarnya bayi nanti. Zai bahkan sama sekali tidak tidur dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, menenangkan wanita itu setiap kali mengeluh sakit karena kram.

Beberapa jam kemudian, beberapa orang berdatangan untuk menjenguk mereka. Pertama adalah Kyle, saudara kembar Kayla, dan keluarganya. Cornelia, istri Kyle berbicara tentang banyak hal pada Kayla. Dan walaupun wajah Kayla masih pucat, tapi wanita itu tampak lebih ceria setelah berbicara dengan adik iparnya tersebut.

Setelah Kyle dan keluarganya pergi, datang lagi salah seorang kenalan mereka; Castor dan istrinya, Noriko. Tentu saja pembicaraan antara kedua wanita itu tidak terelakkan, sampai akhirnya dokter meminta kedua orang itu untuk meninggalkan pasien karena jam besuk sudah habis. Zai sedikit banyak bersyukur karena kedatangan orang-orang tersebut telah membuat istrinya sedikit lebih santai.

Kelahiran yang sebenarnya baru terjadi pada tengah malam, saat rasa sakitnya makin menjadi. Zai buru-buru meraih tombol pemanggil dengan sebelah tangannya yang gemetar, sementara tangan satunya masih menggenggam tangan istrinya yang berpegangan erat, sangat erat sampai kuku-kuku wanita itu menghujam kulitnya. Tapi bukan itu yang dipermasalahkannya.

Pria berambut cokelat itu meringis mendengar istrinya merintih dan menangis, sementara ia tidak dapat melakukan apa-apa kecuali menunggu dokter dan perawat datang. Setelah beberapa detik menunggu-yang bagi Zai terasa seperti berjam-jam-akhirnya beberapa orang perawat menghambur masuk.

Beberapa perawat langsung berlari-lari keluar untuk memanggil dokter, ada juga mengambil peralatan yang dibutuhkan dari lemari. Beberapa orang perawat yang tersisa membantu Kayla untuk mengatur napasnya, yang lainnya memeriksa kondisi leher rahim pasien.

Bagi Zai, yang hanya dapat melihat perawat-perawat itu berlalu lalang, berbicara sesuatu yang penuh dengan istilah yang tidak dimengertinya, semuanya terlihat kacau. Kedua mata cokelat keemasannya bertemu pandang dengan bola mata biru milik istrinya yang basah karena air mata.

"Kau bisa melakukannya." Hanya itu yang dapat dikatakan Zai, balas mencengkram tangan istrinya lebih erat.

Bohong kalau dibilang Kayla tidak merasa takut; rasa sakit yang sejak beberapa jam yang lalu terus menyiksanya akhirnya mencapai puncaknya pada tengah malam itu. Ia tidak ingat apa yang dilakukan perawat-perawat di sekitarnya. Ia hanya ingat sang dokter terus-terusan mengulangi kata yang sama; "Dorong!"

Kayla merasakan tulang-tulang di sekitar perut dan pinggangnya seperti hancur perlahan, tapi ia harus terus mendorong agar bayinya dapat keluar dengan selamat. Ia bersumpah kalau rahimnya terasa seperti tercabik-cabik saat bayinya yang pertama keluar. Perjuangannya belum selesai sampai di situ, ia masih harus mengeluarkan bayinya yang kedua dengan tenaga yang nyaris habis.

Ia dapat mendengar Zai mengatakan sesuatu di sisinya, tapi tidak dapat mendengar dengan jelas apa tepatnya yang dikatakan. Pandangannya nanar, seolah-olah ia akan diselubungi kegelapan kapan saja. Hanya rasa sakit yang terus mencabik-cabik perut dan pinggulnya yang menjaganya tetap sadar.

Rasa sakitnya memang luar biasa, tapi ia sudah berjanji pada suaminya kalau ia akan melahirkan bayi-bayinya dengan selamat kali ini. Ia tidak ingin kejadian yang terjadi dua tahun lalu terulang lagi, saat ia gagal melahirkan karena stres berlebihan dan kondisi mentalnya yang tidak mendukung kondisi fisiknya untuk melahirkan.

Ingatannya kembali ke tujuh bulan lalu, saat ia baru mengetahui kalau dirinya mengandung. Saat itu ia merasa takut dan menangis setiap malam selama beberapa hari, merasa kalau dirinya tidak pantas menjadi seorang ibu. Trauma akan kematian bayinya saat lahir satu setengah tahun lalu begitu membekas dalam ingatannya, dan ia merasa kalau dirinya belum siap untuk mengandung lagi.

Zai, yang masih sama berdukanya dengan istrinya, meyakinkan wanita itu kalau tidak ada yang perlu ditakutkan. Kejadian satu setengah tahun lalu memang sebagian disebabkan karena keduanya-terutama Kayla-tidak siap menghadapi kehamilan tersebut. Tapi mereka sudah setuju untuk mencobanya lagi.

Dan sekarang, saat melihat kedua bayi kecil tersebut, Kayla merasa sangat bodoh selama tiga puluh dua tahun hidupnya. Bagaimana mungkin seseorang dapat takut melahirkan makhluk-makhluk cantik seperti kedua bayi tersebut? Ia merasa bangga sekaligus malu pada dirinya sendiri.

Bangga karena akhirnya dapat melahirkan dua bayi yang kelihatan begitu cantik dan sehat tersebut, tapi juga malu karena butuh waktu lama bagi dirinya untuk dapat melakukan hal tersebut, dengan banyak pengorbanan dan air mata.

***

My Baby, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang