Tahun-tahun pertama kehidupan rumah tangga Kayla dan Zai Erichthon tidaklah mudah, atau begitulah menurut Kayla. Keduanya memang tinggal di rumah mereka sendiri dan sudah memiliki penghasilan yang cukup memadai untuk membiayai kebutuhan sehari-hari mereka.Tapi baik orang tua Kayla dan orang tua Zai tinggal di sekitar rumah mereka sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kapan akan punya anak?" atau komentar seperti, "Kalian berdua kelihatannya sibuk sendiri, ya?" sama sekali tidak terhindarkan-terutama dari pihak keluarga Zai.
Awalnya pertanyaan itu dilontarkan dengan halus, dan baik Kayla maupun Zai menanggapinya dengan sopan pula. Zai sudah setuju untuk mendukung karir istrinya, dan tidak akan memaksanya untuk memiliki anak kalau gadis itu belum siap.
Kendra, Zachary, dan beberapa orang di sekitar mereka sebenarnya juga pernah berkomentar mengenai hal tersebut, tapi dengan kalimat yang berbeda karena mereka tahu kalau Kayla masih ingin mengejar karir dan pendidikan lebih lanjut. Tapi bohong kalau dibilang Kayla tidak merasa terganggu dengan semua komentar tersebut.
Zai beberapa kali memberitahunya untuk mengabaikan komentar-komentar itu. Tapi Kayla selalu merasa kalau mudah bagi Zai untuk berkata seperti itu, karena bukan pemuda itu yang perlu mengandung dan melahirkan. Beberapa kali keduanya berdebat mengenai hal tersebut, bahkan pernah sampai Kayla tidak mengizinkan suaminya tidur di ranjang yang sama dengannya pada malam mereka bertengkar.
"Aku bilang, aku capek mendengar komentar dari ibumu itu," Kayla berkata dengan jengkel saat keduanya makan malam di meja dapur dengan makanan instan karena keduanya pulang telat dari pekerjaan.
"Jelaskan aja lagi alasannya, susah amat," Zai membalas, tampak acuh-tak-acuh.
"Ini bukan masalah menjelaskan alasan atau apa. Aku ini perempuan, komentar seperti itu nggak lewat begitu saja seperti komentar 'bajumu mencolok sekali hari ini,' atau 'kau lagi diet, ya?' dan komentar-komentar semacam itu, tahu."
Zai mengerang pelan, dan membalas, "Percuma saja kau jelaskan padaku. Kau yang psikolog, bukan aku!"
"Benar, kau sama seperti ibumu, dasar kepala batu."
"Hei, jangan bawa-bawa ibuku dalam semua ini," Zai berkata dengan tajam.
"Kan dia yang cerewet soal anak, anak, lah! Bukan aku yang mulai, kok!"
"Kau yang mulai mengeluhkan semua itu."
"Kau kan suamiku, dukung aku sedikit, kek!"
"Aku sudah mendukungmu sebaik yang aku bisa, kok! Kau tahu seberapa sulitnya menahan diri di ranjang biar kau dapat mengejar karirmu tanpa perlu takut akan hamil?"
"Ap-itu kan urusan cowok! Aku nggak pernah memintamu untuk menahan diri, kok! Aku juga melakukan pencegahan sebelum kita melakukannya! Setiap kali aku menelan pil-pil itu, aku juga menelan risiko kegemukan, tahu! Kau beruntung selama ini aku juga selalu berhati-hati agar tidak gemuk!"
Zai tertawa sinis. "Aku beruntung?! Aku akan merasa lebih beruntung kalau punya istri yang lebih penurut dan nggak berbicara seolah-olah dirinya itu ratu jagad raya."
"Oh, jadi kau nggak mencintaiku sekarang?"
"Kau cukup tajam, perempuan..." Zai berkata sinis, mengabaikan pelototan istrinya.
Kayla menghentakkan sendok yang dipegangnya dan langsung melesat menuju kamarnya di atas sambil membentak, "Pergi sana! Aku nggak butuh suami sepertimu!" lalu membanting tutup pintu kamar dan menguncinya.
Zai hanya bisa menghela napas pelan dan melanjutkan makan malamnya yang mendadak jadi sunyi. Itu artinya ia harus tidur di kasur sofa malam ini. Di rumah itu memang terdapat beberapa kamar lain selain kamar utama, tapi sebagian besar masih kosong atau digunakan untuk keperluan lain karena sejauh ini mereka memang belum perlu kasur tambahan.
Tapi tampaknya ia melupakan faktor pertengkaran suami-istri yang mungkin akan terjadi. Malam itu adalah satu dari beberapa perdebatan yang, kurang-lebih, sama dengan yang selalu mereka perdebatkan. Mungkin ia memang harus mempertimbangkan untuk membeli kasur baru.
Tapi lagi, walaupun sering berdebat berputar-putar mengenai hal yang sama, pada akhirnya mereka selalu sampai pada satu kesimpulan; kehidupan rumah tangga mereka adalah urusan mereka sendiri, tidak ada yang berhak mengomentari cara hidup yang sudah mereka putuskan.
Pada tahun-tahun pertama, masih mudah mencapai kesimpulan tersebut. Tapi tahun-tahun berikutnya semakin keras lagi. Komentar-komentar itu sekarang mulai terdengar ketus di telinga Kayla, entah memang dikatakan seperti itu atau hanya kedengaran seperti itu di telinganya. Yang jelas ia merasa makin terganggu mendengarnya.
Usianya tahun ini menginjak tahun ke-26, sementara Zai 29. Walaupun tampaknya Zai tidak mempermasalahkan soal keputusannya, kadang ia bertanya-tanya apa sebenarnya pria itu menginginkan kehadiran seorang anak. Kadang juga ia merasa dirinya terlalu egois. Tapi keputusan untuk memiliki anak itu—menurutnya—bukanlah keputusan yang mudah, dipikirkan berapa kalipun.
Untuk saat ini, Kayla ingin fokus menyelesaikan thesisnya, walaupun selalu saja ada yang membuat pikirannya memikirkan hal lain. Siang hari itu contohnya, saat Kayla sedang menikmati makan siang di sofa ditemani tumpukan buku-buku tebal dan kertas-kertas penuh coretan tangannya. Saat itulah telepon rumahnya berdering.
Tanpa beranjak dari sofa, Kayla mengulurkan tangannya untuk mengangkat telepon itu. Walaupun dalam proses beberapa lembar kertas dan buku jatuh dari pangkuannya, akhirnya ia berhasil meraih gagang telepon dan mengapitnya dengan kepala dan pundaknya, sementara ia sibuk mengumpulkan kembali kertas-kertasnya yang berceceran.
"Kediaman Erichthon," Kayla berkata.
"Kayla, kau sudah dengar?" suara Cornelia langsung membalas dari seberang telepon, terdengar agak buru-buru.
Kayla mengernyitkan dahi. Tidak biasanya adik iparnya itu menelepon, apalagi setelah mereka sudah berkeluarga masing-masing. Dan lagi, terdengar buru-buru begitu. "Dengar apa?"
"Noriko baru saja melahirkan," ujar Cornelia.
"Noriko... Noriko yang pernah kau tutor dulu itu?"
"Ya. Dia melahirkan di rumah sakit tempat Kyle bekerja. Anaknya lahir dengan selamat," Cornelia berkata, terdengar lega dan senang, seolah-olah itu adalah anaknya sendiri yang baru lahir.
"Wah, selamat! Anaknya cewek atau cowok?"
"Bayi laki-laki yang sehat. Aku ingin cepat-cepat melihatnya. Pasti manis kayak ibunya..."
Kayla tertawa pelan dan berkata, "Dasar. Jangan mendahului ibunya begitu, dong."
"Iya, iya, mama. Kau juga mau ikut menjenguk, nggak?"
Kayla terdiam selama beberapa saat. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Noriko bukanlah kenalan dekatnya, tapi Cornelia sudah menganggap gadis itu adiknya sendiri, walaupun usia mereka hanya terpaut satu tahun. Dari apa yang diingatnya, Noriko dan Castor baru menikah tahun lalu, dan sekarang mereka sudah punya anak. Berita itu lebih terdengar seperti tamparan baginya.
"Mungkin lain kali. Hari ini aku sibuk mengurus penelitian untuk thesisku," Kayla menjawab, pada akhirnya.
"Belakangan kayaknya kau sibuk, ya. Yah, selamat berjuang dengan thesismu!" Cornelia mengakhiri pembicaraan mereka.
Kayla meletakkan gagang telepon itu kembali. Pikirannya campur aduk oleh berbagai macam hal. Orang-orang di sekitarnya tampaknya bahagia memulai keluarga mereka sendiri, sementara ia malah berkutat dengan pekerjaan, thesis, dan penelitian. Sedikit demi sedikit, ia mulai berpikiran kalau mungkin saatnya mencoba, saatnya memberi kesempatan bagi nyawa baru itu untuk masuk dalam kehidupannya.
Tapi, mungkin lain kali.
Benar, ia tahu kalau keputusannya untuk mengejar karir dan pendidikan itu tidak salah. Anak bisa menunggu, dan ia tahu kalau Zai juga mendukungnya. Saat ini thesisnya sudah hampir selesai, dan mungkin ia akan mendapat promosi kalau ia berhasil mendapat gelar masternya nanti.
Memikirkan semua itu membuat Kayla melupakan segala komentar pedas dan pikiran-pikiran lain yang hanya mengaburkan fokusnya. Ia memang masih merasa terganggu dengan komentar orang-orang di sekitarnya mengenai keputusannya, tapi menghadapi semua itu jadi lebih mudah sekarang.
Mungkin Zai benar, mungkin ia tidak perlu membesar-besarkan masalah tersebut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby, My Angel
ChickLitKayla selalu ingin menjadi wanita karir yang sukses, dan suaminya mengerti akan hal tersebut. Tapi tentu saja tidak semuanya dapat berjalan semudah itu. (c) 2015 MarumeChiisa, for the story and all the media used