Zai berjalan turun dari mobilnya dengan terhuyung-huyung. Kemejanya kusut, dan rambutnya juga agak berantakan. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi, dan ia baru saja kembali ke rumahnya dalam keadaan mabuk. Ia bahkan terkejut sendiri ia mampu mengendarai mobilnya sampai rumah dengan selamat. Tapi itu mungkin juga karena jalanan sudah sepi. Setelah memasukkan mobilnya ke garasi, ia memastikan kalau pintu garasi sudah terkunci, lalu memasuki rumah melalui pintu dapur.Begitu memasuki dapur, ia langsung mengambil salah satu gelas dari rak dan mengisinya penuh dengan air dari keran. Ia meminum habis isi gelas tersebut dengan cepat, lalu mengisinya lagi dengan air. Kepalanya benar-benar perlu asupan oksigen yang banyak setelah minum-minum terlalu banyak pada pesta kantornya.
Saat ia meneguk gelas air keduanya, ia tidak mendengar suara-suara dari ruang keluarga, dan agak tersentak kaget saat melihat istrinya sudah berdiri di pintu dapur dengan kedua tangan tersilang di depan dada.
"Ke mana saja kau?" Kayla bertanya, tidak yakin harus merasa jengkel atau lega.
Zai mengelap mulutnya dengan lengan kemejanya sambil tertawa pelan. "Lihat, sekarang dia bicara padaku. Hai, Kayla. Apa kepalamu sudah lebih dingin?" ia berkata dengan sinis.
Kayla tidak bergerak dari pintu dapur, akhirnya memutuskan untuk bersikap jengkel saat melihat kalau suaminya pulang telat dalam keadaan mabuk. "Kau habis ngapain saja mabuk begitu? Main perempuan?"
"Ada pesta di kantor, penjualan kami bulan ini sangat bagus... dan, ya, cewek-ceweknya cantik sekali. Aku nggak sadar selama ini aku kerja di tempat yang banyak cewek-cewek cantiknya," Zai membalas, masih dengan sinis.
"Kalau begitu mungkin kau tidak perlu lagi istri payah yang selalu sibuk dan suka minum sherry dan obat penenang sepertiku, kan?" ujar Kayla ketus. Sebelah tangannya berkacak pinggang, sementara tangan satunya menggenggam alat tes yang ada dalam saku gaun tidurnya.
"Kau bicara apa? Yang nggak perlu pasangan hidup kan, kau. Kau yang selalu menyuruhku tidur di sofa keras itu. Dan kau yang menolak untuk cerita padaku setiap kali kuajak bicara," Zai membalas, tiba-tiba saja rasa pusing yang meyerang kepalanya sudah menguap, digantikan oleh rasa jengkel.
"Aku cuma tidak ingin mengganggu pekerjaanmu, kok..." Kayla menjawab sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak ingin memulai pertengkaran sebelum membicarakan hal penting tersebut, jadi ia berusaha keras meredam egonya.
Tapi seharusnya ia tahu kalau yang mengalami tekanan batin bukan hanya dirinya. Zai memang selama ini selalu bersikap bijak dan pengertian, sementara ia malah tidak ingin dimengerti dan berusaha mengatasi masalahnya sendiri. Dan saat akhirnya ia memutuskan untuk bicara baik-baik, justru giliran Zai yang tampaknya mulai capek diperlakukan seperti tidak ada.
"Kayaknya kita pernah melakukan pembicaraan ini beberapa hari lalu. Kau habis minum berapa botol tadi?"
"Aku-aku nggak minum, kok... aku nggak bisa minum untuk saat ini..." Kayla membantah, berusaha keras agar tidak terbawa emosi.
"Baiklah, aku mengizinkanmu minum sekarang. Minum yang banyak, biar kita mabuk bersama, habis itu kita ke kamar dan bersenang-senang sedikit."
"B—bukan begitu... ada yang perlu kubicarakan..."
Zai tertawa pelan sambil berjalan ke arah istrinya, lalu menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan wajah istrinya. Wajah mereka sangat dekat sekarang, sampai Kayla bahkan dapat mencium bau alkohol dari mulut suaminya. Ia bergerak mundur perlahan, berusaha untuk mengontrol dirinya.
"Kau mau bicara sekarang? Ke mana perginya 'aku punya cara sendiri mengatasi masalah,' HAH?!"
Kayla meringis mendengar itu. Sekarang ia takut pada Zai. Mereka memang kadang bertengkar mengenai berbagai macam hal dan saling membentak, tapi ini pertama kalinya ia melihat Zai tampak sangat marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby, My Angel
ChickLitKayla selalu ingin menjadi wanita karir yang sukses, dan suaminya mengerti akan hal tersebut. Tapi tentu saja tidak semuanya dapat berjalan semudah itu. (c) 2015 MarumeChiisa, for the story and all the media used