Graduation

19.8K 596 2
                                    


Awal musim gugur tahun ini menandakan akhir dari masa perkuliahan bagi Kayla Brecht, 22 tahun, baru saja lulus dari Fakultas Psikologi University College London. Setelah penyerahan ijazah dan upacara, suasana wisuda itu dipenuhi tawa bahagia, air mata haru, dan topi-topi kelulusan yang berterbangan di udara.

Zachary Brecht memeluk putrinya dengan bangga. Bukan hanya lulus dalam usia yang begitu muda, putrinya juga lulus dengan pujian. Hidup anak gadisnya itu tampak bercahaya di hadapannya. Gadis itu dapat melakukan apapun, ia yakin itu.

"Selamat atas kelulusannya," Kendra Palmer berkata. "Tapi kau kalah cepat dibanding Kyle, lho. Sekarang dia sudah memulai pelatihannya di rumah sakit umum. Kalau berhasil, dia bakal jadi calon dokter muda!"

"Ibu..." Kayla mengerang jengkel saat nama saudara kembarnya itu disinggung di hadapannya. "Aku bukan Kyle, berapa kali harus kubilang..."

Kendra tidak membalas, hanya tersenyum dan memeluk putrinya selama beberapa saat. "Aku juga selalu kalah dari ayahmu, tenang saja," ia berbisik di telinga putrinya.

"Hei, aku masih di sini," Zachary menyela, jelas mendengar apa yang dikatakan mantan istrinya tersebut.

Saat Kendra melepas pelukannya, ia mengusap air mata yang merebak di ujung matanya dan menatap putrinya lekat-lekat. "Yah, kalau dilihat baik-baik, kau beda sekali dengan Kyle, kok. Kau mirip sekali dengan maniak kerja itu."

"Masih di sini," Zachary berkata, tampak agak jengkel.

"Ayah itu orang yang hebat, kok," Kayla membela ayahnya. Selama ini ia memang selalu mengagumi ayahnya. Dan adalah keputusannya sendiri ikut dengan ayahnya saat orangtuanya bercerai empat belas tahun lalu.

"Aku tahu. Kalau tidak kalian tidak akan pernah lahir. Kau mau melakukan apa setelah ini?" Kendra bertanya, jelas-jelas mengubah topik pembicaraan.

"Um... aku mau coba magang setahun, terus baru ambil pasca-sarjana. Kayaknya..." Kayla menjawab, tampak ragu.

Kendra mengernyitkan dahi, tidak biasanya putrinya terdengar ragu seperti itu. Ia selalu mengenal putrinya sebagai sosok yang percaya diri, mirip dengan ayahnya. "Kayaknya?"

"Sebenarnya..." Kayla makin tampak tidak nyaman, seolah-olah sedang terjadi perdebatan dalam dirinya untuk memberitahu ibunya atau tidak. Ia melirik ke arah ayahnya, yang balas mengangguk kecil.

"Aku sudah dilamar..." Kayla akhirnya berkata dengan suara kecil.

"Apa?" Kendra tampak melongo, seperti tidak yakin akan apa yang baru saja didengarnya. Lagipula sekeliling mereka benar-benar berisik, ia sendiri tidak yakin sudah mendengar dengan benar atau tidak.

"Aku dilamar... oleh Zai..." Kayla membalas lagi, masih dengan suara pelan.
Kendra mengedip beberapa kali, masih tidak yakin akan apa yang didengarnya. "Zai... pacarmu itu?"

Kayla mengangguk pelan, wajahnya tertunduk berusaha menyembunyikan rona merah pada kedua pipinya. Kendra menoleh ke arah Zachary, yang malah mengangkat bahu dengan ekspresi menyerah. Ia sendiri tidak yakin bagaimana menanggapi hal tersebut. Ia tahu kalau putrinya sangat ingin menjadi wanita karir yang sukses, tapi ia juga tidak menyangka putrinya akan bimbang dengan situasi seperti itu.

Setelah beberapa saat tidak ada yang berkata apa-apa, akhirnya Kendra bertanya, "Kau ingin menikah dengan Zai?" tapi lalu ia langsung menyadari kesalahannya dan menambahkan, "Maaf, aku ganti pertanyaannya. Maksudku, kau mencintai anak itu?"

Rona merah pada kedua pipi Kayla semakin jelas saat gadis itu mengangguk lagi. "Tapi aku nggak yakin aku siap untuk menikah dengannya..." ia berkata pelan.

"Kau ingin bekerja dan melanjutkan sekolah, kan? Apa Zai tahu soal itu?"

"Tahu, kok. Tapi dia bilang pernikahan nggak akan mengganggu sekolah kalau aku memang sangat ingin melakukannya. Lagipula dia sudah berkoar-koar kalau dia berhasil memenangkan medali emas untuk triathlon di turnamen musim panas kemarin, dia bakal melamarku. Dan dia bilang turnamen kemarin itu turnamen terakhirnya... habis itu dia bilang bakal serius melanjutkan bisnis keluarganya."

Gadis itu mencintai kekasihnya, itu terlihat jelas dari pernyataan barusan. Dan sejauh yang diketahuinya, keduanya sudah bersama selama setidaknya lima tahun. Ia juga tahu kalau pemuda itu lebih tua dari gadis itu—tiga tahun kalau tidak salah—dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Tapi ia tidak menyangka situasi seperti ini datang begitu cepat pada putrinya, yang sejak dulu lebih mendahulukan karir daripada hal lainnya.

Baik Kendra maupun Zachary tidak mampu berkata-kata dalam situasi ini. Mereka, bisa dibilang, nyaris tidak berpengalaman dalam hal cinta. Keduanya dinikahkan oleh orang tua mereka saat usia mereka masih sangat muda. Baru setelah itu keduanya memutuskan untuk melanjutkan sekolah sebelum memiliki anak.

Kehidupan rumah tangga mereka tidak pernah mudah, keduanya masih ingat betul akan hal tersebut. Tapi atas dasar rasa hormat pada orang tua, keduanya mempertahankan rumah tangga mereka—yang sejak awal tidak pernah kokoh—sampai keduanya yakin kalau masing-masing dapat berdiri sendiri. Dan setelah itu hidupnya hanya tentang pekerjaan dan putranya saja, tidak pernah ada lelaki lagi yang masuk dalam kehidupannya. Zachary juga, kurang-lebih, sama.

Sedikit banyak, Kendra merasa bersyukur kalau baik putri maupun putranya memiliki kehidupan cinta yang lebih sukses daripada orangtuanya. Bahkan putranya sudah menikah dan memiliki anak dua tahun lalu-sebelum bahkan lulus dari kuliahnya. Tapi saat itu putranya tampak yakin dan tidak perlu bantuan sama sekali dalam memutuskan, sehingga ia masih tidak tahu bagaimana ia akan menanggapi pernyataan dari putrinya tersebut.

Pada akhirnya Kendra memutuskan untuk bersikap netral. Selain karena ia memang tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk memberi saran, ia yakin kalau putrinya sudah cukup dewasa untuk memutuskan sendiri.

"Aku yakin kau sudah punya jawaban itu dalam dirimu sendiri. Yang perlu kau pertimbangkan adalah seberapa besar keuntungan dan kerugian yang akan kau dapat dari pernikahan tersebut. Aku tidak bisa berpendapat dalam hal ini, kau yang tahu situasimu dan kekasihmu sendiri."

Diam lagi. Kayla tampak memikirkan sesuatu selama beberapa saat, sampai akhirnya ia mengangkat wajah dan berkata, "Ibu dan ayah mengatakan hal yang sama... kalian benar-benar pasangan suami-istri."

Kendra tampak kelabakan selama beberapa saat dan baru bermaksud untuk memprotes saat putrinya mendahului. Gadis itu bertanya, "Apa ibu akan mendukungku apapun keputusan yang kubuat?"

"Tentu saja, sayang," Kendra membalas, nyaris spontan.

Kali ini giliran Kayla yang memeluk ibunya. "Terima kasih, ibu! Aku akan memikirkan keputusanku baik-baik!" lalu setelah itu ia berlari menjauh ke arah teman-temannya yang berkumpul sambil berfoto-foto.

Kendra menghela napas melihat anak gadisnya tersebut. "Aku pikir aku lebih sukses sebagai orang tua. Tapi ternyata kita sama-sama payah, ya..." ia berkata pada Zachary.

"Yah... aku sendiri kaget waktu anak itu mengajakku berdiskusi soal pernikahan itu..." Zachary membalas, ikut memperhatikan putrinya dari jauh.

"Tapi aku senang anak-anak kita dewasa lebih cepat... aku bahkan sudah jadi seorang nenek sekarang. Memangnya aku setua itu?" ujar Kendra, diakhiri dengan helaan napas panjang.

"Aliran waktu itu benar-benar kejam, ya," Zachary berkomentar, tiba-tiba saja tampak kesepian.

"Apa, sih? Kau kesepian, ya?" goda Kendra yang menyadari perubahan nada bicara pria di sisinya.

Zachary menggeleng pelan dan berkata, "Tidak. Tapi aku sedikit merasa kecewa tidak bisa memberikan masukan yang berarti saat putriku akan membuat keputusan paling besar dalam hidupnya."

Kendra tertawa pelan saat medengarnya dan berkomentar, "Sudahlah. Tidak usah disesali. Bersyukur saja karena anak-anak itu jauh lebih dewasa daripada kita dulu."

"Kau benar."

***

My Baby, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang