"Aku ingin coba punya anak lagi."Tiba-tiba saja Kayla berkata pada suatu malam di bulan Februari yang bersalju. Suhu di London saat itu masih sangat rendah, sehingga keduanya—ia dan suaminya—menikmati cokelat panas di depan perapian sambil merapat dan merangkul satu sama lain di sofa ruang keluarga. Walaupun televisi di hadapan mereka menyala, tapi mereka tidak terlalu memperhatikan apa yang ditayangkan.
Zai mengernyitkan dahi. Topik itu muncul entah dari mana. "Kenapa tiba-tiba?" ia bertanya, tampak heran.
Kayla mengangkat bahu dan menjawab, "Entahlah. Aku hanya merasa sudah waktunya aku melakukan sesuatu untuk menyingkirkan mimpi-mimpi buruk itu. Anak baru mungkin bisa."
"Kau masih mimpi buruk?"
"Kadang-kadang... biasanya sih kalau makan malamnya nggak enak."
Zai tertawa pelan, senang sekaligus sedih istrinya masih dapat bercanda. Senang karena wanita itu sudah mulai pulih sejak bayi pertama mereka meninggal satu setengah tahun lalu. Tapi juga sedih karena kenyataan kalau istrinya masih mengalami mimpi buruk mengenai hal tersebut-walaupun sudah tidak sesering dulu.
Kehidupan mereka sudah nyaris kembali normal sekarang. Kayla mulai menyibukkan diri untuk belajar memasak lebih intensif dan juga mengurus pekerjaan rumah lainnya, karena sekarang ia sudah tidak bekerja lagi.
Selain itu, Kayla juga sudah lebih terbuka pada suaminya sekarang. Setiap kali ada sesuatu yang mengganggunya, ia akan bercerita pada Zai—walaupun kadang Zai mengomentari bagaimana mungkin seorang psikolog perlu berkonsultasi dengan seorang pria biasa sepertinya. Kadang juga keduanya masih berdebat mengenai berbagai macam hal, tapi selalu berhati-hati agar perdebatan itu tidak berubah jadi pertengkaran yang merugikan keduanya.
"Lagipula..." Kayla melanjutkan, "Sudah lama sekali kita nggak melakukannya. Memangnya kau nggak kangen dengan kehangatan tubuhku?"
Sekali lagi, Zai tertawa, "Aku lebih kangen dengar suara tawamu."
"Baiklah, coba katakan sesuatu yang mungkin akan membuatku tertawa."
"Hm..." Zai berpikir selama beberapa saat. Lalu akhirnya berkata, "Kau ingat waktu kita bertengkar pagi sekali itu? Waktu aku pulang mabuk habis pesta kantor?"
Kayla tampak berusaha mengingat selama beberapa saat, lalu mengangguk dan berkata, "Ya, kenapa?"
"Aku ingat sekali waktu itu aku bilang 'Aku nggak percaya air mata kudanil sepertimu.' Kau sadar, nggak?"
"Kudanil?" Kayla mulai tertawa cekikikan, "Kayaknya aku ingat, samar-samar. Waktu itu aku kan lagi nangis, aku nggak terlalu memperhatikan kau bilang apa." Tawa cekikikannya mulai berubah menjadi tawa pelan. "Tapi kalau kudanil, sih..."
Keduanya tidak melanjutkan pembicaraan tersebut dan tertawa bersama selama beberapa saat. Setelah puas tertawa, Kayla berkata lagi, "Baiklah, kau menang."
"Apa aku dapat hadiah?" goda Zai.
"Malam yang panas bersamaku di ranjang," Kayla membalas dengan wajah jahil.
"Kedengarannya menyenangkan. Ujung telingaku mulai kaku karena dingin, nih..."
Kayla tertawa dan beranjak dari sofa, memadamkan perapian, lalu menarik suaminya dan berlari-lari ke kamar mereka di atas, di mana mereka langsung mengunci pintu untuk menikmati hadiah yang sudah dijanjikannya.
Walaupun Kayla sendiri yang bilang kalau ingin mencoba untuk mengandung lagi, dua minggu kemudian, saat hasil tes kehamilan menyatakan kalau ia positif mengandung, reaksi pertamanya justru adalah menangis.
Zai tentu saja heran dengan reaksi itu, mengira kalau istrinya menangis terharu. Tapi lalu wanita itu mulai mengoceh tentang betapa dirinya tidak pantas menjadi seorang ibu dan semacamnya karena pernah gagal melahirkan. Walaupun bingung, Zai menghibur dan menyemangati istrinya kalau ia bisa melakukannya. Dan saat itu pulalah pengakuan yang mengejutkan Zai keluar dari mulut Kayla.
"Aku pernah keguguran sekali, dan gagal melahirkan yang kedua kali. Aku sama sekali nggak pantas menjadi seorang ibu..." Kayla meratap pada pundak Zai.
"Keguguran?" Zai bertanya, tangannya berhenti mengelus kepala istrinya. Ini pertama kalinya ia mendengar mengenai hal tersebut.
"Aku nggak pernah memberitahumu karena aku takut," Kayla mengakui, "Tapi tiga tahun sebelum aku mengandung Zachary, aku pernah keguguran sekali..." Ia terisak selama beberapa saat, lalu melanjutkan, "Aku nggak tahu harus bagaimana, dan aku malah minum alkohol. Habis itu dokter kandungan memberitahuku kalau aku keguguran gara-gara itu..."
Zai tampak tidak yakin harus memberikan reaksi apa. Ia memang kaget mendengar pengakuan itu, tapi ia tidak merasa berhak menghakimi keputusan wanita itu-apalagi setelah apa yang terjadi padanya. "Aku tidak marah, kok, tenang saja."
"Kau punya segala hak yang kau perlukan untuk marah padaku..."
"Kau bukan satu-satunya pengecut di rumah ini, kan." Zai membalas dengan tenang, berusaha mengimbangi ratapan istrinya yang juga tidak berhenti. "Aku sendiri nggak berani menghadapi kenyataan kalau anak pertamaku sudah tiada sejak dalam kandungan dan malah menyuruh orang lain untuk menutupi kenyataan itu. Aku lebih pengecut daripada kau."
Walaupun Kayla sudah lama tahu mengenai hal tersebut, tetap saja sulit mengakuinya lagi dan lagi.
"Aku lebih pengecut." Kayla terdengar ngotot, bahkan dalam isakannya.
"Nggak. Pokoknya aku."
"Aku."
"Kau mau melanjutkan ini?" Zai bertanya pada akhirnya, capek dengan pembicaraan mereka yang mulai tidak jelas arah.
"Tentu saja aku akan melahirkannya kali ini. Tapi kau harus janji untuk menemaniku selama proses-berhasil atau tidak."
"Kau pasti berhasil, dan aku akan melihatmu melakukannya."
"Janji?"
"Kau boleh menenggelamkanku ke dasar Thames kalau aku sampai ingkar."
Keduanya terdiam. Kayla sudah berhenti menangis dan menikmati pundak Zai yang lebar dan hangat. Ia merasa lebih nyaman dan lega setelah pengakuan dan juga janji tersebut
Kehidupan rumah tangga mereka memang tidak selalu lancar, malah banyak rintangan yang menguji keduanya. Tapi justru semakin banyak ujian yang mereka hadapi, semakin erat pula ikatan yang menjalin keduanya.
Dan seperti yang Zai pernah katakan, mereka mungkin tidak tahu apa yang menunggu mereka di masa depan kelak. Tapi kalau mereka terus mempercayai satu sama lain, mereka yakin tidak ada yang tidak dapat mereka hadapi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby, My Angel
ChickLitKayla selalu ingin menjadi wanita karir yang sukses, dan suaminya mengerti akan hal tersebut. Tapi tentu saja tidak semuanya dapat berjalan semudah itu. (c) 2015 MarumeChiisa, for the story and all the media used