"Kau minum vodka-ku, Kayla?" Zai bertanya pagi hari berikutnya.Hari itu adalah hari sabtu, dan mereka tidak perlu pergi kerja. Biasanya pada malam minggu, mereka akan memasak sesuatu yang berbeda (biasanya resep buatan sendiri) untuk makan malam dan memakannya bersama dengan anggur. Zai sedang memikirkan resep apa yang akan dibuatnya untuk makan malam mereka hari itu. Ia bermaksud untuk memeriksa kabinet untuk melihat persediaan anggur mereka saat ia menyadari botol vodkanya sekarang sudah setengah kosong.
Kayla mendongak dari mangkuk serealnya, tampak linglung selama beberapa saat. Nyatanya, ia masih merasa pusing karena ia tidak pernah minum lebih dari dua gelas anggur dalam sehari. "Um, aku kelihatan mabuk, ya?"
"Bukan. Isi botolnya jelas berkurang, dan kau muntah pagi ini," Zai membalas sambil menutup pintu kabinet dan menghampiri istrinya di meja dapur. "Kau yakin tidak ada yang ingin kau bicarakan? Ini pertama kalinya kau minum vodka, kan?"
Kayla mengerjap beberapa kali, lalu menggeleng pelan. "Maaf. Tapi banyak yang kupikirkan belakangan ini. Aku kelepasan semalam."
"Hei, hei, lihat mataku," Zai berkata sambil memegang wajah Kayla. Keduanya bertemu pandang selama beberapa saat. "Kau tahu aku selalu mendukungmu. Dan aku nggak akan membiarkan istriku yang kuat itu jadi pemabuk hanya karena sesuatu yang tidak dapat diceritakan."
Selama beberapa saat, Kayla berpikir kalau ia tidak dapat berbohong di hadapan kedua mata cokelat keemasan suaminya. Tapi ia masih belum dapat membawa dirinya untuk bercerita. Pada akhirnya, rasa takut mengalahkan segalanya, membuatnya menggeleng pelan dan berkata, "Tidak apa-apa, sekarang sudah tidak apa-apa."
Mungkin karena masih dalam pengaruh alkohol, Zai tidak dapat membaca apa tepatnya ekspresi yang ditunjukkan istrinya itu. Nada suaranya juga, di luar dugannya, terdengar tenang dan tanpa beban. Pada akhirnya ia memutuskan untuk mempercayai istrinya dan menghela napas pelan.
"Sebenarnya ada yang perlu kubicarakan denganmu," Zai memulai, tampak segan selama beberapa saat.
Walaupun masih agak linglung, Kayla tampak heran. Ia tidak berkata apa-apa, menunggu suaminya melanjutkan.
"Mulai minggu depan, aku akan pergi dinas selama beberapa hari, setidaknya seminggu," ujar Zai pada akhirnya. "Apa kau tidak akan apa-apa selama itu?
Kayla tidak langsung menanggapi. Perlu beberapa saat bagi kepalanya yang masih pusing untuk mencerna apa yang baru saja diberitahukan Zai. Selama ini Zai memang selalu sibuk mengurus bisnisnya, tapi ini pertama kalinya pria itu harus pergi ke luar kota untuk pekerjaan. Kayla sadar kalau itu adalah kesempatan baginya.
Setelah beberapa saat, akhirnya ia membalas, "Kalau kau takut aku akan mabuk-mabukan selama kau pergi, kau boleh kunci kabinet itu dan minta seorang tetangga untuk mengawasi belanjaanku kalau perlu."
Zai mengernyitkan dahi. Bukan itu yang dimaksudnya. "Tidak. Aku percaya padamu. Tapi kau harus janji untuk meneleponku kalau ada apa-apa. Ya?"
Kayla mengangguk pelan, dan hanya itu yang dibutuhkan Zai. Ia kembali sibuk melihat-lihat buku resep, sementara pikiran Kayla dipenuhi berbagai macam skenario yang dapat dilakukannya selama suaminya pergi. Ia bisa pergi ke ahli kandungan sendiri dan meminta untuk menggugurkan kandungannya sebelum dapat berkembang lebih jauh.
Benar, ia akan melakukan itu. Dan untuk mendukung rencananya, ia akan minum lebih banyak anggur sebelum hari itu untuk menumpulkan akal sehatnya. Ia tahu kalau kesadarannya tidak akan membiarkannya melakukan hal tersebut, tapi ia tidak punya pilihan lain-atau begitulah pikirnya saat itu.
Senin pagi, ia melepas kepergian suaminya dengan senyum. Senyum yang digunakan untuk menyembunyikan fakta kalau ia sebenarnya sangat mabuk sepanjang akhir pekan dengan bergelas-gelas anggur yang diminumnya diam-diam. Ia sudah sangat berhati-hati agar suaminya tidak dapat mencium bau alkohol yang memenuhi mulutnya, dan untuk selalu bersikap wajar walaupun dalam keadaan sedikit mabuk.
Segera setelah suaminya pergi, Kayla menelepon tempat kerjanya untuk memberitahukan kalau ia minta cuti kerja karena sedang tidak enak badan. Lalu ia menelepon ahli kandungan di rumah sakit terdekat (bukan tempat Kyle, saudara kembarnya, bekerja tentunya) dan membuat janji untuk memeriksakan kandungannya sebagai permulaan.
Siang itu sehabis makan siang, Kayla sedang bersiap untuk pergi ke dokter saat tiba-tiba saja saja perutnya terasa mulas. Ia buru-buru menuju kloset untuk memuntahkan sebagian besar makan siangnya—yang memang belum masuk terlalu dalam. Awalnya ia pikir itu hanya gejala morning sickness, tapi lalu ia menyadari hal lain.
Darah mengalir keluar dari antara kedua pahanya, dan rasa sakit pada perutnya masih berlanjut. Darah itu jelas bukan darah menstruasi, karena selain kenyataan kalau ia sedang mengandung, darah itu lebih banyak dan warnanya lebih merah daripada darah menstruasi; seperti ada salah satu bagian tubuhnya yang baru saja terluka.
Kayla terdiam selama beberapa saat, memegangi perutnya yang masih terasa nyeri. Ia berusaha mengingat sesuatu yang sejak tadi mengganjal pikirannya. Tapi lalu akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada ahli kandungan. Ia berusaha mengabaikan rasa sakit itu dan bersiap lagi untuk pergi ke dokter.
Karena insiden kecil di kamar mandi, ia datang agak telat dari waktu yang dijanjikannya. Beruntung hari itu sang dokter tidak mendapat banyak pasien, sehingga ia bisa langsung diperiksa. Ia memberitahukan dokter itu kalau ia baru tahu kalau dirinya mengandung beberapa hari lalu, dan soal pendarahan yang dialaminya tadi. Lalu dokter itu melakukan serangkaian tes, dan ia disuruh untuk menunggu selama beberapa saat sampai hasil tesnya keluar.
"Kau minum alkohol atau kafein dalam jumlah banyak belakangan ini?" dokter wanita itu—Kayla tidak ingat namanya—bertanya. Wajah keriput dokter senior itu tampak serius.
Tentu saja Kayla tahu kalau ia tidak dapat membohongi seorang dokter, jadi ia mengatakan yang sebenarnya. "Sebenarnya, ya..."
Dokter itu berdecak pelan dan berkata, "Aku tidak tahu apa alasanmu melakukan itu. Tapi seharusnya kau tahu kalau minuman beralkohol itu berbahaya bagi kandungan, terutama yang masih sangat muda. Apa, sih, yang kau pikirkan?"
Kayla tampak tidak yakin mendengar perkataan sang dokter. Tapi ia merasa kalau ganjalan dalam pikirannya akhirnya terjawab. Tapi ia masih merasa perlu untuk memastikan. "Maksud anda..."
Dokter itu menghela napas pelan dan menyelesaikan kalimat Kayla, "Maaf, tapi kau baru saja keguguran. Aku tidak yakin sudah berapa lama, tapi mungkin belum sampai sehari sejak janin dalam rahimmu itu gugur."
Tentu saja seharusnya ia tahu kalau ia tidak boleh mengonsumsi alkohol, kafein, dan rokok selama masa kehamilan. Bagaimana ia bisa lupa hal-hal yang pernah dipelajarinya di kelas biologi dulu?
Tapi itu artinya ia tidak perlu khawatir lagi soal kandungannya, kan? Seharusnya itu berarti kabar baik. Kan?
Sayangnya justru akal sehatnya memberikan reaksi yang lain. Segera setelah ia kembali di rumah, yang dapat dilakukannya hanyalah duduk di sofa ruang keluarga sambil menatap langit-langit rumahnya tanpa alasan yang jelas.
Baru dua hari-yang terasa seperti berhari-hari-sejak ia mengetahui kalau dirinya mengandung, dan sekarang tiba-tiba saja ia sudah keguguran? Ia bahkan tidak yakin harus merasa senang atau sedih. Ia memang sempat merasa dunianya akan hancur begitu mengetahui kalau dirinya mengandung di luar keinginannya, tapi sekarang?
Kayla memegangi perutnya, yang sekarang sudah tidak terasa sakit lagi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, setidaknya untuk saat ini. Ia bersumpah kalau ia akan lebih hati-hati berikutnya. Akan tiba waktunya ia memutuskan untuk memiliki anak suatu saat nanti, tapi tidak sekarang, dan ia berusaha meyakinkan dirinya kalau keputusannya tidaklah salah.
Walaupun begitu, Kayla tidak pernah merasa paling hina seumur hidupnya seperti saat ini, saat ia menyadari kalau ia—walaupun tanpa disadarinya-baru saja menggagalkan satu bakal kehidupan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby, My Angel
ChickLitKayla selalu ingin menjadi wanita karir yang sukses, dan suaminya mengerti akan hal tersebut. Tapi tentu saja tidak semuanya dapat berjalan semudah itu. (c) 2015 MarumeChiisa, for the story and all the media used