Before the BIG Day

10.4K 447 0
                                    


Kayla menangis lagi untuk yang kesekian kalinya malam itu. Ia tidak yakin ia siap menghadapi pernikahannya yang akan diadakan seminggu lagi, bukan karena takut matanya terlihat bengkak setelah berhari-hari menangis, tapi karena ia memang takut menghadapi upacara suci tersebut. Seolah-olah upacara pernikahan itu adalah pengadilan yang akan memutuskan hidup-matinya.

Sejauh yang ia khawatirkan, pernikahan memang terlihat seperti itu baginya-setidaknya untuk saat ini. Padalah ia sudah menghabiskan setengah tahun berpikir mengenai keputusannya; berdiskusi dengan orang-orang yang dipercayanya, dan juga dengan yang bersangkutan tentunya.

Pada akhirnya, saat ia sudah memutuskan, ia malah ketakutan sendiri dan mulai mempertanyakan keputusan yang sudah dibuatnya. Ia memang pernah membaca kalau wanita yang akan menikah cenderung menangis, tapi ia merasa kalau kondisinya jauh lebih parah daripada itu. Apa semua wanita yang akan menikah berpikir sepertinya? Tidak tahu, ia tidak ingin tahu, ia hanya ingin melampiaskan semuanya dengan menangis. Melampiaskan apa, ia tidak yakin.

Semua orang di sekitarnya tampak sibuk mempersiapkan pernikahannya. Zai, bisa dibilang, yang mengurus hampir semuanya, dari mulai event organizer sampai menu katering. Sekarang, seminggu sebelum hari besar itu, semuanya sudah hampir siap. Tempat pesta sudah mulai dihias dengan mawar putih kesukaannya. Menu katering sudah disusun dengan rapi. Rangkaian acara sudah disusun, dan yang paling penting, pakaian para pengantin dan pengiring sudah siap dipakai.

Tapi Kayla bahkan tidak dapat membayangkan dirinya dalam gaun pengantin tersebut, memegang buket dan menjalin tangan dengan pemuda itu. Bahkan Cornelia, adik iparnya, yang ditunjuk sebagai pengiringnya tampak lebih bahagia daripada dirinya sendiri. Sementara ia malah minta cuti kerja selama beberapa hari dengan alasan untuk mempersiapkan pernikahan, padahal sebenarnya ia tidak bisa pergi kerja dengan mata bengkak dan wajah sembab.

"Kalau sampai pernikahan kita batal gara-gara matamu bengkak, aku bakal mengikat kaki dan tanganmu pada sebuah batu besar dan menenggelamkanmu ke dasar Thames," Zai berkata saat berkunjung ke rumah gadis itu, lima hari sebelum upacara pernikahan dilaksanakan. Selain untuk memeriksa kondisi gadis yang kelak akan menjadi istrinya, ia juga perlu membicarakan soal lagu-lagu apa yang akan mereka putar pada upacara hari besar mereka nanti.

"Mungkin begitu lebih baik..." Kayla berkata dengan suara parau, sama sekali tidak bergerak dari sofa tempatnya meringkuk sepanjang hari itu. Bukti dari tangisannya hari itu dapat terlihat jelas dari tumpukan tisu penuh air mata dan lendir yang ada di meja kecil di samping sofa tersebut.

"Aku nggak ngerti kalian, dasar cewek..." Zai menggerutu dan mulai memeriksa koleksi kaset dan CD milik gadis itu di rak televisi. "Gimana kalau Requiem Mass in D minor-nya Mozart? Cocok banget buatmu."

Kayla melempar segumpal tisu pada pemuda itu. "Jangan bercanda! Kau ini nggak bisa ngerti dikit perasaan seorang wanita yang akan menikah, apa?"

"Oh, ya? Yang psikolog kan kau, bukan aku. Harusnya kau lebih tahu, dong," Zai membalas, masih tampak acuh-tak-acuh. Ia mengambil salah satu kotak CD dari rak dan berkata, "Oh, aku tahu. Kau lebih suka Requiem Canticles-nya Stravinsky, kan."

"Sudah kubilang jangan bercanda!" Kali ini bantal sofa yang melayang. Tapi Zai menangkapnya dengan tenang dan berjalan ke arah Kayla yang masih meringkuk di sofa.

Zai duduk di samping Kayla, meletakkan bantal sofa itu di ujung, dan tiba-tiba saja menarik gadis itu ke pangkuannya. Kayla bahkan tidak punya waktu untuk berontak karena pemuda itu langsung memeluknya sekaligus mengunci kedua lengannya. Sekarang kepalanya bersandar pada lekukan di leher Zai, dan walaupun segan mengakuinya, ia merasa lebih nyaman.

"Sudah tenang?" Zai bertanya, membuat Kayla tersipu. Pemuda itu selalu tahu bagaimana caranya menenangkan dirinya, bahkan dalam kondisinya yang paling kacau sekalipun. Ia memang sering kesal kalau pemuda itu bercanda tidak pada tempatnya, tapi pemuda itu pasti tahu bagaimana cara menenangkan emosinya yang kadang meluap-luap setelah itu.

"Aku takut..." Kayla akhirnya berkata dengan suara lirih.

Zai menyandarkan kepalanya pada kepala gadis itu dan balik bertanya, "Takut apa? Takut kau akan segera kehilangan keperawananmu?"

Wajah Kayla langsung merona merah begitu mendengar perkataan Zai. "Bukan! Bukan itu! Kau ini ngomong apa, sih!" ia membentak, tapi tidak berontak. Keduanya terdiam lagi selama beberapa saat, menikmati panas tubuh masing-masing.

Setelah beberapa saat, akhirnya Kayla melanjutkan, "Aku nggak tahu takut apa... takut saja..."

"Setelah ini kita akan selalu bersama. Apa yang kau takutkan?"

Hening lagi. Kayla sebenarnya tidak berusaha memikirkan jawaban bagi pertanyaan Zai tersebut, tapi lalu ia teringat akan banyak hal yang menyangkut pernikahan.

"Aku takut kau akan pergi suatu hari nanti..."

"Kenapa aku mau melakukan hal semacam itu?"

"Entahlah, mungkin kau marah karena aku nggak bisa jadi istri yang baik. Atau mungkin kau lelah menunggu karena aku ingin mengejar karirku dulu... aku takut..."

"Aku tanya balik. Apa aku lelah menunggumu selama setengah tahun hanya untuk memberikan jawaban atas lamaranku?"

Kayla terdiam lagi, lalu menggeleng pelan, "Entahlah... mungkin...?" ia sendiri tidak yakin ingin mendengar jawabannya dari pemuda itu.

"Apa aku marah waktu kau membentakku di tempat umum karena aku mengganggumu waktu kau lagi PMS?"

"Itu kan kau yang salah... dan ya, kau balas membentakku waktu itu."

"Terserah. Yang ingin kukatakan itu, aku juga nggak tahu apa yang menunggu kita di depan sana. Tapi aku yakin kita bisa menghadapinya bersama." Zai menyelubungi gadis berambut merah itu lebih erat dan menambahkan, "Kau cewek pertama yang aku bilang begitu. Sumpah."

Sekali lagi, walaupun malu untuk mengakuinya, ia sangat menikmati perkataan dan juga selubung hangat pemuda itu. Tapi belum lama ia menikmati kehangatan tersebut, keduanya dikagetkan dengan suara benturan dari ruang sebelah, dan suara seorang pria menyumpah pelan. Sebelum keduanya dapat bertindak, sosok Zachary Brecht berjalan tersandung-sandung melewati ruang keluarga, tempat Kayla masih berada dalam dekapan Zai di sofa.

"Maaf... maaf... aku nggak bermaksud mengganggu, kok. Anggap saja angin lewat..." Zachary berkata sambil buru-buru melewati ruang keluarga menuju ruang kerjanya.

Wajah Kayla langsung memanas karena malu, tapi tidak dapat bergerak karena Zai tidak melepaskannya. Ia bergerak-gerak sedikit dalam dekapan erat pemuda itu, tapi pemuda berambut cokelat itu sama sekali tidak bergeming.

"Barusan cuma angin lewat, kan?" Zai berkata dengan tenang. Kayla langsung menyerah dan membiarkan dirinya berada dalam selubung pemuda itu lebih lama. Setelah beberapa saat, Kayla mulai menangis lagi, tapi Zai tetap tidak bereaksi.

"Aku ingin seperti ini saja selamanya," Kayla berbisik dengan suara lirih.

***

My Baby, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang