Bad Timing

7.1K 339 1
                                    


Saat Zai terbangun beberapa jam kemudian, matahari sudah sangat tinggi. Ia menguap lebar-lebar lalu terduduk bangun sambil meregangkan punggungnya. Kepalanya sudah terasa lebih segar sekarang, dan pandangannya tidak lagi nanar seperti semalam. Ia melihat sekelilingnya; rumahnya sangat sepi, padahal hari sudah cukup siang.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dalam satu hembusan panjang. Tiba-tiba saja ia teringat apa yang terjadi saat ia baru pulang. Rasa segar yang dirasakannya langsung digantikan oleh rasa bersalah yang menggerogoti kesadarannya. Lagi-lagi kepalanya terasa sakit, tapi kali ini karena alasan yang berbeda.

Apa yang dilakukannya pagi itu memang sedikit di luar kendalinya, tapi itu tetap tidak mengubah fakta kalau ia hampir saja membahayakan istrinya. Ia menyumpah pelan dan beranjak dari sofa. Ia perlu meluruskan semuanya dengan wanita itu.

Pria berambut cokelat itu bermaksud untuk menuju tangga saat sesuatu menarik perhatiannya. Ia hampir lupa kalau Kayla meletakkan sesuatu di lantai sebelum kembali ke kamar, dan karena kepalanya pusing bukan main, ia belum sempat melihat apa itu. Benda itu masih tergeletak di tempatnya diletakkan beberapa jam yang lalu, dan Zai langsung mengambilnya.

Awalnya ia tidak yakin benda apa itu dan memeriksa seluruh permukannya. Setelah beberapa saat memeriksa, akhirnya ia ingat benda apa itu. Belum cukup kekagetannya melihat benda seperti itu ada pada tangannya, fakta yang dipelajarinya dari benda itu hanya menambahkan rasa bersalah yang makin menjadi.

Zai berjalan cepat menuju kamarnya di atas. Saat ia semakin dekat ke kamar, ia dapat mendengar suara rintihan pelan, lalu suara bilasan kloset. Ia mempercepat langkahnya, langsung menuju kamar mandi yang ada pada kamarnya dan menemukan Kayla, masih mengenakan gaun tidur, meringkuk di sisi toilet, merintih sambil memegangi perutnya.

"Kayla... Kayla... ya, ampun, kau nggak apa-apa?" Zai berlutut di depan Kayla sambil memegang kedua bahunya. Wanita berambut merah itu tampak lemas sekali, seperti tidak punya kekuatan untuk bahkan sekedar duduk tegak.

"Aku nggak apa-apa... cuma mual..." Kayla menjawab pelan. Tubuhnya sekarang bersandar pada dada Zai, sebelah tangan menutupi mulutnya.

Tiba-tiba saja Kayla tampak begitu kecil dan rapuh, dan rasa bersalah itu semakin memborbardir kesadarannya. Ia menyelubungi istrinya dengan lembut, takut akan meremukkan tubuh wanita itu.

"Maaf... aku benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi tadi pagi. Aku nggak tahu apa yang merasukiku, tapi aku menyesal melakukan semua itu."

Kayla tidak berkata apa-apa dalam pelukan suaminya. Setelah beberapa saat, Zai melepas pelukannya, mengangkat istrinya, dan membawanya ke kasur, di mana ia meletakkan tubuh lemas wanita itu dengan hati-hati.

"Kau perlu sesuatu? Air atau apa?" Zai bertanya, tampak benar-benar khawatir.

Kayla menggeleng pelan dan berkata, "Aku perlu bicara..." sebelah tangannya meremas lengan kemeja pria di sisinya.

"Soal tes kehamilan itu? Aku sudah melihatnya..." Zai terdiam, tidak yakin harus mengatakan apa. "Apa kau-" ia terhenti lagi, benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Selama ini ia memang tidak mempermasalahkan soal anak dan semacamnya, dan ia tahu bagaimana istrinya bersikap mengenai hal tersebut.

Kayla menggigit bibirnya. Bahkan Zai sekalipun tampak ragu. Padahal ia ingin pria itu meyakinkan dirinya akan apa yang harus dilakukannya— apapun keputusannya. Ia benar-benar tidak bisa memutuskan sendiri kali ini.

"Aku lihat buku catatanku..." Kayla memulai, entah kenapa ia malah menceritakan hal lain. "Terakhir kali kita melakukannya, aku sudah minum pil itu... tapi sepertinya sudah nggak manjur lagi..."

Kayla menoleh ke arah Zai dan menatap pria itu dengan kedua bola matanya yang berair. "Apa menurutmu ini memang sudah waktunya?"

"Kau... mau melanjutkan-" Zai berhenti selama beberapa saat, seolah-olah berat untuk menyelesaikan kalimat tersebut. Pada akhirnya ia melanjutkan, "Semua ini...?"

"Apa aku punya pilihan?" Kayla bertanya, suaranya terdengar lirih saat ingatan tiga tahun lalu menyerang ingatannya.

"Aku nggak tahu... tapi mungkin kau bisa menggugurkannya kalau kau belum siap...? Aku akan mendukung apapun keputusanmu," Zai menjawab, walaupun tampak ragu.

"Aku sedikit berharap kau akan memaksakan keputusanmu. Aku benar-benar nggak tahu harus memutuskan seperti apa..." ujar Kayla, mengalihkan pandangannya ke pangkuannya.

Hening lagi. Sebelum salah satu di antara mereka dapat melanjutkan, terdengar suara dering telepon. Zai beranjak dari kasur dan berkata, "Biar aku yang angkat." Ia berjalan keluar kamar dan mengangkat telepon di lorong di depan kamarnya.

"Kediaman Erichthon."

"Zai... Zai, ya? Apa Kayla ada di sana?" Kyle terdengar tergesa-gesa dari seberang telepon.

"Kayla masih di kamar, sedang tidak enak badan. Mau kupanggilkan?" Zai menawarkan, merasa agak heran mendengar adik iparnya itu terdengar buru-buru dan panik.

"Tidak usah. Tapi tolong beritahukan padanya. Ayah mengalami kecelakaan pesawat dalam perjalanan ke London."

"Apa...?" Zai tampak tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Ayah kalian... kecelakaan pesawat...?"

"Aku juga belum tahu detailnya. Aku sedang menuju airport sekarang untuk memastikan semuanya. Tapi sepertinya..." Kyle terhenti selama beberapa saat, lalu akhirnya menyelesaikan kalimatnya, "Tidak ada yang selamat."

Belum cukup kekagetan Zai mendengar kabar tersebut, ia dikagetkan lagi dengan suara tercekat dari arah kamarnya. Saat ia menoleh, Kayla sedang berjalan ke arahnya, wajahnya tampak sama tidak percayanya dengannya.

"Ayah... apa?" Kayla bertanya, matanya terbelalak ngeri. Ia sebenarnya tidak sengaja mendengar namanya disinggung dan bermaksud untuk bertanya saat mendengar isi pembicaraan di telepon tersebut.

"Telepon lagi kalau ada kabar baru." Zai menyudahi telepon tersebut dan buru-buru menghampiri istrinya.

"Ada apa dengan ayahku? Tadi yang telepon itu Kyle, kan?" Kayla bertanya, tampak penasaran dan resah.

Zai sempat bimbang selama beberapa saat untuk memberitahu Kayla atau tidak, tapi tampaknya percuma saja menyembunyikannya sekarang. "Pesawat ayahmu mengalami kecelakaan. Tapi belum ada keterangan lebih lanjut," ia berkata dengan enggan.

Kayla mencengkram lengan Zai, matanya yang berair menatap ke lantai. Sekujur tubuhnya perlahan-lahan jadi lemas, dimulai dari kepala, turun terus hingga kakinya saat ia teringat telepon dari ayahnya kemarin malam.

Telepon itu memang tidak diduga, dan alasan ayahnya menelepon memang sedikit janggal. Tapi ia tidak pernah membayangkan kalau itu adalah telepon terakhir dari ayahnya. Pandangannya kini semakin kabur, tapi bukan karena air mata yang membasahi kedua mata birunya, melainkan karena kesadarannya makin menipis.

Terlalu banyak yang terjadi padanya dalam beberapa hari belakangan ini, dan itu semua terlalu banyak untuk dijejalkan dalam pikirannya; Pekerjaan, tes kehamilan, pertengkaran dengan suaminya. Dan sekarang, ayahnya baru saja mengalami kecelakaan? Ia ingin segera bangun dari rangkaian mimpi buruk tersebut-kalau memang itu semua hanya mimpi buruk.

"Kayla...? Kayla?!"

Kayla dapat mendengar Zai menyerukan namanya dengan panik, tapi ia tidak bisa membalas. Suara Zai terdengar semakin jauh, dan tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi saat kegelapan akhirnya menguasai kesadarannya.

***

My Baby, My AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang