Beberapa kali Baskara memeriksa kemeja batik Sido Mukti Tungkak-nya. Celana hitam dan sepatu boatnya juga tidak luput dari perhatian. Rambut lurusnya ber-gel, tersisir rapi ke samping untuk menyambut tamu undangan istimewa. Seseorang yang sangat dia kagumi. Seseorang yang berjasa, dan berani bertaruh untuknya.
Di tengah kesibukan mempersiapkan acara, karangan bunga berdatangan dan ditata rapi berjajar di sekitar pagar depan sebagai ucapan selamat dari kolega, penyuplai bahan makanan, sponsor event wedding dan penikmat sajian restonya, Resto Kenanga. Khusus hari ini, resto akan tutup lebih larut.
Tepat pukul lima sore, sedan warna hitam metalik masuk pelataran resto yang akan merayakan ulang tahun pertamanya. Baskara telah bersiap di depan pintu geser ber-air curtain. Dia sedang mengukir senyum, menampik canggung. Di sebelahnya, perempuan berparas ayu dengan pipi merona ikut tersenyum setelah meneleng kepadanya. Secara khusus perempuan itu bertugas memastikan Baskara masih layak bertemu orang atau tidak. Setelah sedan warna hitam metalik berhasil parkir, Baskara langsung melangkah mendekat. Sengaja dia membukakan pintu penumpang. Kemudian, seseorang bersetelan jas keluar dari mobil, tersenyum hangat dan menjabat tangan Baskara, mengguncangnya dengan bersemangat.
"Selamat datang di warung saya yang sederhana ini, Pak," sambut Baskara sambil membalas jabat tangan orang itu.
"Ini bukan warung sederhana!" balas orang yang dipanggil Pak oleh Baskara itu dengan berdecak. Lalu dia tergelak, menepak bahu Baskara. "Dari dulu sukanya merendah."
"Bapak bisa saja." Baskara ikut tertawa.
"Sebelah kamu siapa, Bas?" tanya laki-laki yang sedikit membuncit karena kancing jasnya dia lepas, berbisik setelah mencondongkan badannya.
"Sugeng rawuh (Selamat datang), Pak Angger." Perempuan yang berdiri di sebelah Baskara mampu mendengar perkataannya. Dia ulurkan tangan, ikut menyambut kedatangan Angger dengan senyum yang tak juga luntur sedari mula. "Nama saya Cahaya. Bapak bisa panggil saya Aya."
Angger menjabat tangan Cahaya. Pandangannya kembali kepada Baskara. Seringai jail pun muncul dan Baskara bisa menebak ke arah mana obrolan ini akan berakhir. Duda satu itu memang licin soal asmara. "Pintar juga kamu pilih pasangan, Bas. Seleraku sepertinya menitis juga padamu."
Tebakan Baskara meleset. Dia gelagapan saat membalas, "Ka-kami―"
"Saya anak buahnya Pak Baskara, Pak Angger," potong Cahaya, "sengaja saya minta ke Pak Baskara buat ikut menyambut Bapak. Saya benar-benar ingin ketemu langsung dengan sosok yang saya kagumi sejak dulu sampai sekarang."
Tatapan Angger terasa lekat. Dia coba mengingat sosok rupawan di hadapannya. "Apa kamu salah satu muridku di PHI dulu, sama seperti Baskara?"
"Saya salah satu pembaca setia buku-buku masakan Pak Angger."
"Oh, I see." Angger mengangguk-angguk. "Saya kira buku saya itu cuma jadi bualan. Bakal jadi ganjalan pintu. Atau, jadi bungkus gorengan. Ternyata masih bisa menghasilkan uang juga, tho."
"Saya tahu persis kalimat ini. Saya juga sering mendengarnya di kantor."
"Dengar dari siapa?" tanya Angger penasaran.
Cahaya mengerling. Baskara salah tingkah. "Ternyata rendah dirinya juga menurun dari Bapak."
Mereka bertiga tertawa dan segera memasuki resto yang sedang ramai-ramainya pengunjung. Anggukan serta senyum mereka bertiga tidak surut saat berselisih jalan dengan pengunjung yang sedang menikmati jamuan. Beberapa kenalan mulai mendekat dan ikut menyalami Baskara sambil mengucap selamat.
Dari jauh, seseorang melambaikan tangannya. Baskara jelas tidak menyukainya, tetapi wajib memulas senyum di hadapan Angger. Dia melirik kepada Cahaya, bergumam, "Aku nggak tahu kalau monyet satu ini ada di sini. Kenapa kamu mengundangnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Rahasia Baskara
RomanceDi antara aroma masakan yang membius dan bercita rasa tinggi, dua restoran tengah berdiri kokoh. Pemiliknya berlomba-lomba mendapatkan Michelin Guide pertama untuk restoran mereka. Persaingan pun tak terhindarkan. Dan di sepanjang perjalanan untuk m...