Posisi mengobrol Prabu dan tamunya cukup jauh dari dapur. Kendati demikian, Baskara merasa selalu diawasi setiap kali melakukan sesuatu. Sampai-sampai, dia melipir ke kebun belakang untuk berefleksi. Bertanya kepada Hadi pun terasa tak elok. Terlebih, Prabu. Dia segan. Untuk itu, Baskara berhati-hati setiap kali memegang peralatan dapur atau menyiapkan bahan masakan. Dia tidak ingin kena marah.
Tak lama berselang, pandangan mereka akhirnya bertumbuk. Karena tidak ingin mengundang masalah, Baskara pura-pura mengamati hasil irisan pepaya mudanya untuk sambal goreng sebagai sandingan urap-urap daun ketela pohon dan beluntas. Kemudian setelah menyelesaikannya, Baskara ingin menyusul yang lain ke Rumah Makan Daharan untuk membantu persiapan buka. Namun, niat itu pupus. Prabu memanggil setelah tamunya pamit pulang.
"Dalem (iya), Pak," jawab Baskara setelah mendekat. Kepalanya sedikit merunduk. Detak jantungnya meningkat.
"Kamu nggak repot, kan?"
"Mboten (tidak)."
Prabu beranjak dari kursi dan memberi kode supaya mengekorinya ke kamar. "Kebetulan Wisnu aku suruh beresin pesanan nasi kotak."
Baskara mengangguk kecil.
"Karena semua orang sibuk dan anakku nggak ada di rumah, jadi kamu yang temani aku ke restoran mantan pekerjaku ini. Ke Pawon Restoran. Kamu tahu Bas, setelah dapat ilmu dari sini, pekerjaku itu berani buka usaha sendiri. Aku juga dengar restorannya akhir-akhir ini ramai," Prabu melanjutkan bicara seraya membuka lemari pakaian terbaiknya, sedangkan Baskara berdiri cukup jauh dari pintu. "Sekarang aku mau ganti baju dulu, kamu bilang Dodo untuk siapkan mobil."
"Inggih, Pak."
Pawon Restoran berdiri di Dukuh Kupang, sekitar setengah jam dari Rumah Makan Daharan. Pemiliknya bernama Lilik. Di mobil yang disupiri Dodo, Prabu mendongeng di kursi belakang. Katanya, Lilik itu seangkatan Hadi, bapak Baskara. Keduanya adalah tangan kanan Prabu, tetapi nasib mereka bergerak ke arah berbeda. Lilik berani mengambil risiko dengan membuka warung dan berkembang menjadi Pawon Restoran, sementara Hadi masih setia kepada Prabu.
Tiba di tempat tujuan, mereka melangkah menuju halaman restoran berkonsep Joglo. Terdapat taman rumput luas bak permadani hijau ditanami beraneka bunga di beberapa sudut, dengan pohon asam jawa di kiri kanan bangunan. Semuanya tampak asri, padahal Surabaya panas sekali.
Kedatangan mereka disambut sang pemilik restoran. Baskara dan Dodo mengekor. Dibandingkan Prabu yang flamboyan, Lilik tampak seperti kacung. Kucel. Entah pilihan busana Lilik yang jadul atau perawakannya yang tidak mendukung. Semuanya tampak kebesaran. Secara kasat mata, Prabu menang telak. Ketampanannya memikat dengan kulit terawat. Atau mungkin, kontur wajah lembut beralis tebal menaungi mata cokelat tajam itu sejatinya bawaan orok.
Digiring masuk oleh Lilik, mereka duduk di meja yang telah disiapkan. Sebelum duduk, Prabu menepuk bahu Lilik dengan isyarat bangga. Senyum pun merekah bagai kuntum bunga pukul empat.
"Repot banget, Lik. Sampai kosongin meja segala," Prabu berkata manis, kemudian melemparkan tatapannya kepada Baskara dan Dodo. "Kita duduk di sini saja, ya."
Kedua anak buahnya kompak menyengguk.
"Nggak repot, Pak Prabu," Lilik menukas, "Kan nggak sering-sering datang ke sini. Tapi kalau mau sering juga boleh," kelakarnya. "Mau pesan apa? Ada menu spesial―"
"Aku lihat daftar menumu dulu ya, Lik."
Secepat kilat, Lilik mengambil buku menu dan menyerahkannya kepada Prabu. Sekilas membaca buku menu, Prabu mendongak dan berkata datar, "Mirip menu di tempatku ya, Lik?"
Bola mata Baskara melebar. Dodo melirik ke arahnya dan Baskara membalas seolah sedang bertelepati, diakhiri dengan anggukan kecil.
"Hmm...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Rahasia Baskara
RomanceDi antara aroma masakan yang membius dan bercita rasa tinggi, dua restoran tengah berdiri kokoh. Pemiliknya berlomba-lomba mendapatkan Michelin Guide pertama untuk restoran mereka. Persaingan pun tak terhindarkan. Dan di sepanjang perjalanan untuk m...