28. Rayuan Angin Segar

83 14 13
                                    

Lima belas menit berjalan kaki, Baskara sampai juga di lapangan desa. Jauh di ingatan, lapangan di hadapannya kini tampak lebih hijau dibanding dulu ketika dirinya masih tinggal di Jatikalen. Baru juga menginjak rumput hijau lapangan setelah mengagumi, seorang pemuda melewati Baskara dengan langkah tergesa dan tidak sengaja menyenggol lengannya. Seraya mengangguk kecil, pemuda itu lantas meminta maaf. Spontan, Baskara ikut mengangguk. Namun anehnya, pemuda itu malah mematung. Dahinya berlipat-lipat.

"Kamu... Baskara, kan?" Pemuda itu akhirnya bersuara.

Sekonyong-konyong dahi Baskara ikut berkerut. Dia mencoba mengingat pemuda seumurannya yang masih membeku. Baskara berharap ketika dia membalas anggukan, ingatan tentang siapa pemuda itu bisa terurai. Namun kenyataannya, tidak.

"Mas, siapa, ya?" kalimat tanya tersebut lolos juga dari lubang tenggorokan Baskara.

Bukannya tersinggung, pemuda itu malah terkekeh. "Astaga, benar itu kamu, Bas. Lama kita nggak ketemu. Hampir... puluhan tahun kan, ya?"

Baskara masih sabar menunggu orang itu menyebutkan namanya. Sebab, sel-sel dalam otaknya benar-benar tidak bisa diajak kerja sama.

"Eh, sampai lupa sebut nama. Namaku Robi. Masih ingat, kan? Teman main kecilmu," terangnya dengan sebelah alis terangkat.

Cukup lama Baskara membisu, menganalisis nama tersebut, sampai akhirnya seperti ada bohlam menyala di atas kepalanya. Ting. "Oh, iya. Robi...." Baskara akhirnya mengingatnya. Perawakannya sedang dengan lesung pipi dan senyum merekah setiap kali mata beningnya menatap, membuatnya tampak ramah.

"Apa kabarmu, Bas? Tiap kali aku mau main ke rumahmu, pintumu selalu tertutup. Kalaupun ada mobil parkir di halaman rumahmu, pasti nggak lama setelah itu mobil sudah nggak kelihatan lagi."

"Kabarku baik. Iya, maaf, aku nggak pernah menginap di rumah. Soalnya...," terasa menyesakkan setelah kedua orangtuaku nggak ada. Baskara sengaja tidak melanjutkan kalimatnya karena merasa tidak elok mencurahkan isi hati dengan seseorang yang baru ditemuinya lagi setelah sekian lama tidak jumpa. Dia menggantung kalimatnya di udara.

Merasa situasi mulai mencair, Robi mendekat dan memeluk Baskara seperti bertemu teman lama. Baskara membalas pelukannya erat dan ikut saling menepuk punggung. Setelah pelukan terurai, Robi mengajak Baskara mendekati kerumunan begitu mendengar TOA dari arah barisan depan. Tio mendapatkan jatah untuk mengomando warganya supaya segera berkumpul karena acara kerja bakti akan segera dimulai.

Seperti mengikuti tur singkat, Robi memberi informasi mengenai orang-orang yang ada di sebelah kanan atau kiri mereka dengan cara berbisik. Sesekali pemuda itu menggunakan dagunya untuk menunjuk, bersamaan dengan Baskara yang mulai mengingat satu persatu warga Jatikalen.

Usai pengumuman berganti-gantian dari beberapa ketua RT yang diberi mandat oleh kepala desa, barisan pun dibubarkan. Karena Baskara dan Robi memiliki perbedaan tugas, mereka berpisah menuju area masing-masing. Robi membawa cangkul untuk membersihkan saluran irigasi kecil berbatasan dengan kebun milik warga, sedangkan Baskara menuju tenda untuk dapur umum.

Sebagai penduduk baru (padahal tidak bisa disebut seperti itu karena pernah tinggal di Jatikalen juga), Baskara melangkah mendekati Ani. Ibu-ibu yang ditugasi menjadi koordinator di dapur umum. Setelahnya, Baskara tidak mengira akan disambut hangat. Dia diperkenalkan kepada anggota dapur umum lain. Tidak lebih dari sepuluh orang berada di dalam sana, jadi Baskara tidak terlalu sungkan ketika menjadi satu-satunya laki-laki yang bertugas membantu memasak untuk kegiatan kerja bakti.

"Mas Baskara, otot lengannya terus dilatih, ya?" Seorang ibu-ibu bernama Siti mesem-mesem sedari tadi, melihat laki-laki di hadapannya sedang menanggalkan kemeja dan menyisakan kausnya. "Pasti rajin olahraga."

Resep Rahasia BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang