33. Mengawat Kisikan

97 15 14
                                    

Sejauh mata memandang, warna biru dengan rangkaian ombak tak bertepi terlihat berarak bersama buih lautan. Embusan angin dan aroma asin air laut terasa menenangkan, terkadang menyesakkan sekaligus menjengkelkan bagi Baskara. Rambutnya berantakan tertiup angin.

Sembari mencoba melupakan drama kehidupan, setitik penyesalan terkadang masih menyambangi hatinya setelah mengurungkan niat membungkam orang-orang yang dibencinya. Setiap kali melamun seperti sekarang ini, benaknya selalu kembali ke waktu itu. Ke perkara menyelesaikan rasa sakit hati.

Baskara ingat tangannya tengah bersiap menuang kuah rawon bercampur racun ketika sebuah suara hadir dan berhasil melubangi pendengarannya. Jangan kotori tanganmu!

Baskara termangu seolah ada tangan tak kasatmata mencoba menahannya. Sedetik kala itu, Baskara teringat sebuah artikel. Hal pertama yang akan menghilang dari ingatan ketika seseorang meninggalkan kita untuk selama-lamanya adalah suara. Namun....

Itu suara Ibu, Baskara meyakini dengan sepenuh hati. Suara yang sangat dirindukannya, hadir.

Jangan dengarkan! Itu hanya halusinasimu, Baskara. Cepat bereskan hal yang sudah kamu mulai supaya hatimu tenang, suara lain dari sesuatu yang bertanduk dalam diri Baskara mendesak.

Baksara mengangguk kecil. Sebentar lagi kuah rawon mengucur dari wadah, tetapi lagi-lagi seperti ada yang menahannya untuk tidak melakukannya.

"Pak Baskara, apakah perlu bantuan saya?" Musleh menepuk pelan pundak Baskara, menawarkan diri.

Genggaman Baskara pada wadah mengerat. Dilema menghampiri. Sekarang? Baskara bertanya lagi dalam hati. Iya, sekarang! suara dari sesuatu yang bertanduk itu membalas.

Ibu mohon jangan Bas!

Baskara mendadak menarik wadah untuk menuang kuah lalu mundur selangkah, sampai hampir menabrak Musleh yang berdiri di belakangnya. Mantan anak buahnya itu kebingungan dengan kelakuan Baskara.

"Pak Baskara!" Musleh sedikit mengeraskan suaranya, menyentak. "Rawonnya sudah waktunya keluar."

Beberapa detik berlalu, Baskara berhasil menguasai diri kembali. Dia mengitarkan pandangan sebentar, kemudian mendapati tatapan balik penuh selidik dari penghuni dapur yang menunggunya segera bertindak.

Setelah menghela napas, bukannya menuang kuah rawon, tetapi Baskara langsung mengangkut mangkuk saji dan membawanya ke kitchen sink.

"Musleh, kamu ambil sisa kuah rawon di atas kompor. Terus, tolong tuang ke piring racikan," perintah Baskara di tengah-tengah perjalanan membuang kuah rawon yang dibawanya. "Kuah yang saya bawa ini ada lalatnya," dia beralasan.

"Siap, Pak!"

"Yang lain bantuin juga," sambung Baskara kepada para pelayan yang sedang menunggu.

"Baik, Pak."

Saat semua penghuni dapur sibuk dan Baskara menyelesaikan urusannya memusnahkan barang bukti, dia segera angkat kaki dari dapur dan tidak menengok ke belakang lagi. Dia berharap tidak ada penyesalan ketika menghentikan niatannya menghabisi rasa sakitnya.

Sampai meninggalkan Indonesia untuk bekerja di kapal pesiar, Baskara hanya menemui Wisnu dan Cahaya sekali. Itu pun dalam waktu singkat. Dia beralasan pamit undur diri dari Depot Kamboja karena ada tawaran pekerjaan lain. Dengan berat hati Wisnu melepasnya pergi. Mereka berpelukan cukup lama. Baskara juga tidak mendengar selentingan kabar mengenai percobaan pembunuhan yang dilakukannya ketika pamit ke orang-orang dapur, termasuk Musleh.

Hingga detik ini memandangi lautan lepas, berkali-kali Baskara menggusah pikiran jahatnya.

"Jangan sampai kamu punya niatan buat loncat ke tengah laut ya, Bas! Aku nggak akan mau mati konyol buat menolongmu." Dani menepuk bahu Baskara, dan mendapat balasan geraman dari temannya itu. Dani lalu berdiri di sebelah Baskara dan ikut memandangi lautan luas. "Akhirnya kita bisa napas sebentar."

Baskara mengangguk, "Iya, tapi pas kita libur, kapalnya malah nggak bersandar. Kan, rugi," lalu mendengkus cukup keras.

"Dikasih libur aja udah syukur, Bas. Pegel badan ini kalau dibuat kerja terus." Dani memijat sendiri badannya.

"Tapi begitu ingat gaji yang kita dapat langsung hilang capeknya."

Mereka tertawa. Obrolan kemudian terjeda cukup lama sampai keduanya berbalik badan dari dek kapal pesiar dan menatap orang-orang sedang berenang atau berjemur, menikmati hidup. Suara tawa lepas manusia yang mereka rindukan, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Sebab jika tidak libur, Baskara dan Dani hanya akan mendengar percikan minyak, uap air atau bentakan yang menyuruh mereka untuk cepat bergerak atau mendapatkan kalimat aku tendang dari kapal.

"Baru kali ini jadwal kita libur bareng, ya," Dani membuka percakapan kembali.

"Pak Angger benar-benar nggak pengin kita ngobrol berdua. Sepertinya kita cuma boleh ketemu pas pergantian shift doang."

"Iya, duda satu itu kayak nggak punya kehidupan lain selain di dapur." Dani berdecak, sebal.

"Bukannya kehidupan seperti ini yang dipengini sama duda kayak Pak Angger? Bebas, merdeka?"

Mereka saling beradu pandang sebentar sebelum meledak dalam tawa.

"Terima kasih, Bas," ucap Dani begitu saja di sela-sela tawa mereka.

Baskara mengernyit, lalu menggaruk tengkuknya setelah tawanya habis. "Buat apa, sih?"

"Terima kasih karena sudah merekomendasikanku ke Pak Angger dan akhirnya aku bisa kerja di kapal pesiar ini. Kamu masih ingat kan kalau kerja di sini adalah cita-citaku sejak dulu." Dani menghela napas, lega. "Aneh, ya. Kayak semuanya datang di waktu yang tepat. Saat aku hampir menyerah sama cita-citaku ini."

Baskara mengangguk. Kedua ujung bibirnya melengkung naik. "Sama-sama, Dan," balasnya.

Ada sedikit keraguan pada diri Dani sebelum melanjutkan perkataannya, "Ini soal lain, Bas," katanya setenang mungkin. "Sekarang aku baru tahu, betapa kuatnya dirimu. Aku tahu kamu bisa bangkit dari segala permasalahanmu, mulai dari gagal dapat beasiswa sekolah ke luar negeri, bisnis gulung tikar sampai kehilangan cinta. Kamu hebat, Bas."

Baskara mendelik. Dani sontak tertawa melihatnya.

"Santai, Bas," Dani melanjutkan setelah tawanya meniris. "Eh, kamu pasti pernah dengar ungkapan, fall down seven times, stand up eight. Nah, kamu cocok buat menyandangnya. Dari perjalanan hidupmu yang kadang menyebalkan itu, aku nggak nyangka kita bakalan ada di tempat ini. Yah, walaupun aku belum tahu apakah keras kepalamu masih bertahan atau menghilang sekarang."

Tangan Baskara terulur ke arah dahi Dani, memeriksanya sebelum mengembalikan posisinya. "Oh, panas," katanya datar.

"Setan!"

"Nah, ini Dani yang aku kenal selama ini. Kalau yang tadi, jelas kesurupan hantu motivator."

Dani berniat mengeplak kepala Baskara, tetapi berhasil ditangkisnya. Mereka kemudian saling berkejaran seperti bocah di arena bermain.

Mungkin, Baskara berusaha berdamai dengan cara menjauhi orang-orang yang dibencinya, sejauh mungkin. Mungkin dengan berjalannya waktu, Baskara bisa melupakan niatan untuk membinasakan mereka semua. Yang pasti, Baskara sekarang bahagia. Terus terang dia mengusahakan untuk berbahagia. Sebab, kelak, Baskara ingin menemui ibunya di alam setelah kematian, berterima kasih dan memeluknya erat karena telah menunjukkan kepadanya betapa bahagia itu bisa diusahakan dengan cara biasa. Misalnya, bepergian menaiki kapal pesiar sambil menikmati lautan lepas.

Kerja, Bas, bukan bepergian apalagi liburan!

Baskara tersenyum sambil merangkul pundak Dani setelah tertangkap, lalu balas menjitak kepala sahabat yang paling bisa diandalkannya itu usai mendapatkan hukuman darinya.

― TAMAT ―

Resep Rahasia BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang