Waktu seolah berlari kencang. Hampir sebulan Baskara tinggal di Jatikalen, dan satu kata yang bisa mewakili suasana hatinya adalah betah. Kesibukan membersihkan rumah, membantu Sulis di warung, dan berkendara bersama Robi menjadikan hari-harinya sibuk. Segalanya terasa menenangkan. Sayangnya, dia merasa dunianya baik-baik saja di siang hari. Begitu malam tiba, kesunyian membungkusnya hingga tersisa kepedihan. Berkali-kali mimpi buruk pun hadir. Kali ini, Baskara memegang sebotol bening cairan dan berniat menenggaknya. Namun, teriakan nyaring berhasil menghentikannya. Baskara mendongak. Sepi. Sejurus kemudian, dia kembalikan pandangannya. Botol di tangannya sudah terkuras separuh, dan Baskara yakin bukan dia pelakunya.
Seolah alur cerita melompat-lompat, Baskara kini berada di sebuah pemakaman. Nisan tak bernama menarik perhatiannya.
Belum juga Baskara tersadar, mimpi memboyongnya ke sebuah restoran dalam satu kedipan mata. Dia melihat orang-orang mematung, memandang ke satu arah. Ketika Baskara mengikuti arah pandang mereka, dia memekik mendapati beberapa orang yang dibencinya tengah menggelepar-gelepar meraih udara. Tangan mereka memegangi leher. Bola matanya seakan mencelat.
Begitu ketenangan direngkuhnya kembali, perlahan, Baskara menyeringai. Kepuasan menggenangi batinnya. Sedetik kemudian, seringai itu berubah kekehan. Orang-orang yang mematung sebelumnya, melebarkan mata, kemudian menunjuk dan berteriak. "Dasar pembunuh!"
Seperti terlempar dari alam mimpi, Baskara terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dahinya berhias titik-titik peluh. Bahunya naik turun, dengan debar jantung tak beraturan.
Hal pertama yang dilakukan Baskara setelah sedikit tenang adalah memastikan keberadaannya. Birai-birai jendela dengan tirai brokat tipis tertiup angin, menyadarkan bahwa dia sedang di kamarnya yang temaram. Ditolehnya benda di atas nakas, isi botol bening yang muncul dalam mimpinya masih utuh. Baskara kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Dia lalu teringat obrolannya bersama Robi saat terakhir kali nyekar.
"Aku pernah ikut bapakmu ke kuburan Mbah Demang di Kedongrejo," sebut Robi saat keduanya berjalan bersisian menuju makam orangtua mereka. "Ingat, Bas?"
"Mbah Demang Kedongrejo?"
"Iya, bapakmu pernah mengajak kita ke sana naik bus. Masa kamu lupa?" Robi menggeleng-geleng dan berdecak, tidak percaya dengan daya ingat teman masa kecilnya yang payah.
Anggukan Baskara menambah raut frustrasi Robi.
"Kira-kira, kamu memberitahuku soal ini dalam rangka apa?" Baskara menelisik maksud Robi. "Apa kita perlu ke sana?"
"Kalau aku sih, nggak. Yang perlu ke sana mungkin kamu, Bas. Soalnya, bapak dan ibumu dulu sering ke sana. Siapa tahu makam itu penting."
"Aku tahu."
Pembahasan makam Kedongrejo terhenti ketika mereka sampai di mulut gapura makam. Baskara tidak menyangka, pembahasan itu akan mengganggu jam tidurnya dan membuatnya terjaga.
Di hari yang sama, Baskara memutuskan memesan ingkung atau ayam panggang utuh, dan berniat mengunjungi tempat tersebut.
***
Gapura besar bertuliskan makam Kedongrejo terlihat. Di sekelilingnya, tanaman beluntas setinggi pinggang orang dewasa dan berfungsi sebagai pagar tampak terawat. Tinggi dan lebarnya sama, dan sepertinya dipapras secara berkala.
Hari ini Baskara berpakaian rapi. Pilihan kemeja biru tua polos dengan celana kain gelap melengkapi penampilan necisnya, bersepatu.
Matahari mulai turun sewaktu Baskara memarkirkan mobilnya cukup jauh dari gapura makam karena setapak semakin menyempit. Dia melangkah dengan perasaan waswas seraya menoleh ke kanan-kiri. Tangan kanannya memondong ingkung, sementara tangan kirinya mencangking seplastik kembang setaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resep Rahasia Baskara
RomanceDi antara aroma masakan yang membius dan bercita rasa tinggi, dua restoran tengah berdiri kokoh. Pemiliknya berlomba-lomba mendapatkan Michelin Guide pertama untuk restoran mereka. Persaingan pun tak terhindarkan. Dan di sepanjang perjalanan untuk m...