30. Memutar Rencana

73 14 8
                                    

Robi dan Sulis berharap Baskara tetap tinggal di Jatikalen, membuka warung sendiri atau minimal bekerja bersama mereka ketika berpamitan. Namun, Baskara memilih menginjak pedal gas dalam-dalam melewati jalan raya sebelum masuk gerbang tol untuk memangkas waktu tempuh, sebab tidak ingin berubah pikiran. Sepertinya, ada yang menggerakkannya untuk mewujudkan rencana barunya.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai Resto Kenanga dan memarkirkan mobilnya. Sambil menghela napas panjang, Baskara memandangi restoran dalam keadaan gelap. Kemudian, dia melangkah untuk melihat ke dalam restoran melalui kaca. Karena gelap, Baskara menggunakan bantuan senter pada ponselnya. Pemadangan kursi dan meja ditumpuk di sudut restoran tertangkap. Ketika menurunkan pandangan, lantai koridor berdebu.

Usai mematikan senter dan duduk di lantai koridor, Baskara mencari satu kontak yang bisa ditanyainya; Dani. Setelah menemukannya, segera dia geser ikon telepon dan mendaratkannya ke telinga. Nada sambung terhenti pada hitungan dua.

"Hampir sebulan nggak angkat telepon atau balas WA-ku, sekarang, tengah malam begini, tiba-tiba menghubungiku. Ada apa? Aku nggak mau ya, datang ke kantor polisi untuk menjemputmu karena perbuatan tolol apalagi sampai mendengarmu menangis di ruang tahanan!"

Baskara tertegun. Dijauhkannya sedikit ponselnya untuk memastikan kontak yang ditekannya benar. Setelah meyakini nama Dani yang tertera di layar. Dia takut temannya melindur atau salah memarahi orang.

"Bas, kamu masih di situ, kan?!" Dani memecah kesunyian dengan suara menggelegar di ujung sambungan.

"Iya." Baskara menempelkan kembali ponselnya. "Aku kira kamu salah orang."

Terdengar dengkusan dari ujung sambungan. "Ada apa menghubungiku? Kalau mau tanya soal restoran, sudah aku up-date lewat WA... yang nggak kamu baca itu," terangnya, menyindir.

"Maaf," satu kata itu keluar dari bibir Baskara.

Sunyi menyeruak.

"Dimaafkan," ucap Dani akhirnya, mencoba memecah jeda yang terbentuk. "Ada apa menghubungiku?" ulangnya.

"Restoran nggak operasional ya, Dan? Aku lihat meja dan kursi ditumpuk di dalam."

"Memang... heh―" Dani seperti tersadar ada sesuatu yang terlewat. "Sejak kapan kamu balik ke Surabaya?"

"Barusan, terus langsung ke restoran."

"Oh, aku kira kamu lupa jalan pulang."

"Sindir saja terus!"

Bukannya marah, Dani malah terbahak-bahak. Jika saja tangannya bisa keluar dari layar ponsel, Dani ingin mengeplak Baskara, sekadar menyadarkan sahabat paling keras kepalanya itu. "Pertanyaanmu mengenai restoran, akan aku jelaskan secara singkat," ucap Dani setelah tawanya reda, "dan jangan tanya dulu sebelum aku selesai ngomong!" ancamnya.

"I-iya," mendadak ketegangan menghiasi raut Baskara. Karena tidak ingin memancing omelan, segera ditajamkannya pendengarannya.

"Setelah kamu dan Cahaya bertengkar, restoran sempat buka beberapa hari. Tapi kamu tahu kan, restoran nggak akan jalan kalau nggak ada kepalanya, dan aku nggak sanggup menjalankan semuanya sendirian. Apa lagi, Cahaya sepertinya ogah menginjak restoran lagi setelah pertengkaran kalian." Dani mendesah panjang. "Kalian nih ya, persis bocah SMA yang lagi putus cinta. Segala macam mimpi kalian, cita-cita luhur buat buka restoran yang kalian cetuskan dulu ke aku, tahi kucing semua. Kalian tuh umurnya saja yang banyak, tapi kelakuan masih kayak bocil. Gitu kok mau dianggap dewasa? Dewasa dari mana? Dari Hongkong! Seharusnya kalian tuh mikir, instrospeksi diri. Kalian nggak sadar ya, emosi kalian tuh bisa merugikan orang lain―"

Katanya mau menjelaskan secara singkat? Ini tuh sudah panjang lebar, Dan, mana pakai ceramah lagi, Baskara membatin sambil sedikit menjauhkan ponsel dari telinga karena mulai panas, tetapi tidak berani mengungkapkannya. Menyadari betapa cerewetnya Dani, kedua ujung bibir Baskara tertarik ke atas. Persis emak-emak, dumelnya dalam hati.

Resep Rahasia BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang